Maraknya gerakan jihad yang identik dengan fenomena bom bunuh diri, teror, dan merasa paling benar dalam menegakkan kebenaran di era post-truth. Hal tersebut menjadikan term jihad sebagai term yang digunakan untuk menyebut suatu aksi kejahatan untuk memerangi umat non-Muslim. Padahal, jihad itu nggak jahat dan justru merupakan hal baik yang diperintahkan oleh agama. Islam sebagai agama yang rahmah, nggak mungkin memerintahkan umatnya untuk berbuat jahat.

Di dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 78, Allah memerintahkan manusia untuk berjihad dengan jihad yang sebenar-benarnya yaitu berusaha untuk mengerahkan segala asetnya baik harta, benda maupun dirinya untuk bersungguh-sungguh menjadi muslim yang baik.

Apabila jihadnya masih jahat, berarti harus dipertanyakan kebenarannya. Didalam ayat yang lain, seperti dalam surah at-Taubah ayat 20 dan 86 Allah memuji orang yang berjihad. Ia bahkan mengangkat derajat dan memasukkannya ke dalam kategori perbuatan sangat baik.

Jihad memang jahad?

Jihad itu memang jahad sebagaimana asal bahasanya yang berasal dari kata jahada – yujahidu – juhdan yang berarti bekerja keras, berjuang, bersungguh-sungguh dan atau arti dalam bentuk mashdarnya, daya. Maksudnya, jihad adalah suatu daya yang digunakan untuk melakukan suatu kebaikan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan sampai pada darah kehabisan (totalitas ya maksudnya, bukan pertumpahan darah). Meskipun dalam konteks tertentu kalau harus menumpahkan darah ya nggak masalah.

Seperti dalam merenggut kebaikan ada semboyan “merdeka atau mati” tapi sebenarnya makna esensialnya adalah upaya kesungguhan yang totalitas tanpa batas. Ibu yang bersungguh-sungguh mendidik anaknya dan ayah yang bersungguh-sungguh mencari nafkah adalah jihad, begitu pula dengan anak yang selalu berusaha menghormati orang tua dan menyayangi sesama. Ada banyak hal baik yang bisa dilakukan untuk berjihad.

Sebagai generasi milenial, jihad yang paling tepat adalah belajar dengan sungguh-sungguh. Mengupayakan tujuan untuk menjadi generasi emas yang cerdas dalam mewujudkan sebuah peradaban yang dinamis dan berkemajuan.

Dalam hal ini, kesungguhan tersebut dapat diwujudkan dengan mengorbankan harta untuk membeli buku, bersungguh-sungguh dalam menjaganya, dan membaca dengan penuh kesadaran diri untuk memahami ilmu-ilmu yang ada didalamnya meski harus mengorbankan fisik untuk belajar sampai begadang ataupun perjuangan belajar lainnya. Hingga dapat terjun dalam dunia peperangan, dimana perang yang paling mengerikan di zaman sekarang ialah ghazwul fikr (perang pemikiran).

Satu-satunya senjata yang dapat digunakan dalam perang pemikiran adalah ilmu. Tanpa ilmu, perang pemikiran yang dilakukan oleh pihak oposisi islam akan menjadi sangat mengerikan. Karena dampaknya sangat mengerikan, seperti kerusakan moral generasi Islam, tipu daya antar umatnya, adu domba, dan lain sebagainya sampai pada upaya pemurtadan.

Upaya perang pemikiran tersebut bisa dijumpai dimana saja melalui medan media sosial, pers, hiburan, pendidikan, yayasan dan atau apapun yang dapat memecah belah umat Islam termasuk mengubah stigma jihad yang cenderung terkesan ekstrem dan bisa memikat hati anak-anak muda untuk terjun ke jalan yang salah.

Hari gini, masih mau melakukan jihad yang jahat? Mending jihad yang (nggak) jahad aja. Semoga pilihan untuk memilih jalan jihad fi sabilillah teman-teman muslim, selalu dalam koridor rahmah ya. Karena Islam itu rahmah bukan marah-marah.

Penulis: Fadhlinaa ‘Afiifatul ‘Aarifah

Ilustrator: Ni’mal Maula