Tanggal 7 April setiap tahunnya selalu diperingati sebagai Hari Kesehatan Dunia. Merayakannya di tengah pandemi justru seharusnya membuat kita sadar bahwa bukan hanya tenaga medis tetapi kita sebagai masyarakat biasa bisa berperan untuk mencegah penyebaran COVID-19. Namun, berada di tengah ketidakpastian ini lantas membuat sebagian orang merasa cemas dan panik dengan apa yang terjadi.

Kondisi yang tidak menentu ini dapat mendorong timbulnya stress di dalam diri kita. Saya merasakan demikian, pada minggu pertama self-isolating ­dirumah, saya merasakan gejala-gejala yang serupa dengan COVID-19. Batuk-batuk, flu dan demam selama beberapa hari membuat saya tidak bisa berfikir jernih, beruntung saya bertemu dengan beberapa teman yang merasakan demikian.

Apakah hal itu normal? Ya, dilansir dari Tirto, reaksi gejala semu ini timbul akibat rasa cemas dan lazim disebut gangguan psikosomatik. Ketika cemas, amygdala, pusat rasa cemas pada otak, merespons dengan mengaktifkan sistem saraf otonom secara berlebihan. Tubuh dibuat seolah sedang menghadapi ancaman sehingga selalu siaga. Akibatnya gejala psikosomatik muncul, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, menciptakan rasa sakit di dada.

Beruntung setelah seminggu beristirahat, saya bisa beraktifitas kembali tentunya di dalam rumah seperti sediakala. Saya beruntung menghadapi kecemasan itu bersama dengan keluarga di rumah. Bayangan orang-orang lain yang tertahan sendirian di kota rantauan membuat saya semakin bersyukur. Tentu saja keluarga dan orang-orang terkasih merupakan salah satu sokongan mental utama untuk menghadapi pandemi ini.

***

Sayangnya tidak semua orang menganggap kesehatan mental di tengah pandemi adalah sesuatu yang harus menjadi perhatian bersama. Jika saya menganggap berada dengan keluarga membuat saya semakin kuat, tidak mustahil ada yang menganggap sebaliknya. Keluarga adalah objek yang selalu kita hindari. Perasaan tidak nyaman bisa menghantui hingga pandemi berakhir. Ruang aman yang didapatkan di luar rumah menjadi hilang sampai saat yang tidak bisa ditentukan.

Cara untuk menghindari stress ketika berada di rumah bisa dimulai dengan mengurangi untuk mengakses berita-berita tentang COVID-19 yang dirasa semakin membuat perasaan tidak enak muncul dan meminimalisir penggunaan arus sosial media menjadi salah satu cara yang baik. Sebagai gantinya, akseslah berita dari media-media yang terpecaya dan menanamkan positivisme pada diri sendiri.

Selanjutnya, isi kegiatan selama pandemi dengan hal-hal yang dapat membawa bahagia bagi diri kita. Membereskan sudut kamar yang sudah berdebu, bertegur sapa dengan kerabat menggunakan teknologi atau menyanyi sebagai pelampiasan emosi. Bagi teman-teman yang tidak nyaman di rumah, bisa melepas kekhawatiran dengan menghubungi orang yang menjadi tempat bercerita atau mencari bantuan ahli yang membuka konsultasi gratis.

Sehat tidak hanya dari fisik melainkan juga dari hati dan lingkungan. Selamat hari Kesehatan Dunia! Semoga kita bisa menjadi terang bagi jalan menuju ujung wabah pandemi ini bersama-sama, semoga kita selalu menguatkan hati dalam melawannya.

 

Penulis : Saraswati N. D.

Ilustrator : Ni’mal Maula