Meski manusia disebut sebagai ciptaan paling sempurna, tetapi tak ada satu pun manusia yang benar-benar sempurna.

Di sisi lain, manusia justru menyandang status sebagai tempatnya salah dan lupa. Lantas, mana yang benar?

Jawabannya adalah ‘keduanya’. Manusia disebut sebagai yang paling sempurna disebabkan Allah SWT telah memberikan akal, hati, dan nafsu.

Ciptaan lain tidak memiliki 3 hal tersebut secara lengkap, mereka hanya memiliki dua atau bahkan salah satu saja.

Sementara itu, status manusia sebagai tempatnya salah dan lupa, saya rasa adalah satu pertanda besar sekaligus pengingat bahwa manusia itu merupakan ciptaan, bukan Tuhan.

Status tersebut mestinya menyadarkan manusia untuk terus menghambakan diri pada Penciptanya.

Tentang Perilaku Salah

Bicara soal status manusia sebagai tempatnya salah dan lupa, hal tersebut tidak bisa kita jadikan pembenaran atas perkara buruk yang kita lakukan secara sengaja.

Sebagai contoh, ada orang yang melakukan pencurian. Orang ini lantas berupaya membuat perbuatannya terkesan dapat dimaklumi dengan menyatakan bahwa perbuatan mencurinya tersebut merupakan bagian dari kodratnya sebagai manusia tempat salah dan lupa.

Hal semacam ini jelas tak patut dilakukan. Status manusia sebagai tempat salah dan lupa itu hanya menyangkut perbuatan-perbuatan (salah) yang dilakukan secara tak sengaja.

Misal, kita memiliki janji dengan seseorang dan telah berniat untuk menepatinya. Namun, di hari itu kita ditimpa pekerjaan yang begitu banyak, yang membuat kita mesti menaruh fokus penuh padanya.

Kita lantas lupa dengan janji yang kita buat. Dalam perkara ini barulah kesalahan kita dapat dimaklumi.

Beberapa orang kadang enggan mengakui kekurangan yang ada pada dirinya. Mereka merasa sebagai superior dengan segala kesempurnaan.

Ada juga golongan yang berupaya mati-matian untuk menutupi kecacatan yang melekat pada dirinya. Mereka tak mau (dan akan merasa malu) saat orang lain mengetahuinya.

Sebagian manusia lainnya lagi justru sangat ingin mengetahui letak ketidaksempurnaan dirinya, tapi mereka tak tahu cara apa yang mesti ditempuh.

Golongan manusia yang disebut terakhir ini saya rasa merupakan yang terbaik dibanding 2 golongan yang telah disebut terlebih dahulu.

Mengapa demikian? Sebab, keinginan mereka untuk mengetahui ketidaksempurnaan diri termaktub merupakan langkah awal menuju introspeksi sekaligus perbaikan diri. Pertanyaannya sekarang, apa hal-hal yang mesti mereka lakukan supaya dapat melangkah lebih jauh lagi?

Hamka memaparkan bahwa terdapat 4 metode yang bisa ditempuh untuk mengidentifikasi ketidaksempurnaan diri sebagaimana dikutip oleh Dr. H. Fahruddin Faiz, sebagai berikut.

1. Mencari Guru

Guru yang dimaksud di sini bukan hanya guru yang mentransfer pengetahuan. Guru dalam konteks ini juga mesti memberikan bimbingan serta keteladanan.

Berbekal ilmu yang dimiliki dan pengalaman yang telah dilewati, sang guru akan memberi arahan pada kita dalam memperbaiki kesalahan-kesalahan kita.

Dalam perspektif tasawuf, murid tidak diperkenankan membantah segala yang dikatakan dan dilakukan sang guru padanya. Ini dikarenakan sosok guru dipandang lebih mengetahui apa yang terbaik bagi muridnya.

Apabila murid menyodorkan sanggahan pada guru, maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Namun, apakah hal tersebut masih bisa dipraktikkan di era sekarang?

Seperti yang kita tahu, belakangan muncul banyak kasus pelecehan seksual yang pelakunya menyandang status sebagai guru.

Bahkan, beberapa korban ada yang diiming-imingi dengan berkah taat pada guru dan jaminan surga.

Apakah dalam situasi yang demikian kita masih tak diperbolehkan menyanggah seorang guru? Jelas tidak!

Guru yang menjerumuskan semacam itu haram untuk ditaati. Ingat! Guru wajib dihormati lantaran ia telah mencurahkan waktu dan pikirannya demi menjadikan sang murid pribadi yang lebih baik.

Bila seorang guru melakukan yang sebaliknya, tentu kita tak perlu menghormatinya. Memilih guru di zaman ini tak boleh sembarangan, kita mesti ekstra hati-hati.

Pasalnya, di luar sana tak sedikit orang yang menyalahgunakan status guru demi kepentingan pribadinya.

2. Mencari Sahabat

Sama halnya dengan guru, sahabat yang dimaksud di sini juga bukan sembarang orang. Orang yang akan dijadikan sahabat di sini memiliki kriteria tertentu.

Misalnya, dia (sahabat) adalah orang yang memiliki konsistensi dalam kebaikan. Ia juga merupakan orang yang berkenan mengingatkan kita saat kita melakukan kesalahan.

Ingat! Orang yang bisa dijadikan sahabat di sini adalah orang yang mengingatkan, bukan menuduh kita sesat atau malah mengafirkan.

Saat kita telah berhasil mendapatkan sahabat yang sesuai kriteria tadi, hal yang patut kita lakukan berikutnya adalah mengikis ego.

Saat sahabat mengingatkan, kita harus mendengarkan. Jangan sampai kita merespons niat baik sahabat tersebut dengan marah-marah dan merasa apa yang kita lakukan jauh dari kata ‘salah’.

3. Mendengarkan Musuh

Cara lain untuk mengetahui ketidaksempurnaan diri adalah mendengarkan musuh. Tampaknya ini adalah metode yang paling sulit dilakukan.

Musababnya adalah kita hampir selalu menyangkal dan tak terima dengan apa yang dikatakan musuh. Orang yang menjadi musuh pun juga tak suka pada kita.

Nah, sikap ketidaksukaan tersebut lantas membuatnya dapat melihat dengan jelas kekurangan-kekurangan yang ada pada diri kita. Hal inilah yang harus kita manfaatkan.

Saat musuh mengungkapkan seluruh kecacatan kita, respon yang kita berikan adalah menyimpannya sebagai bahan introspeksi diri.

Memang benar, kita diperbolehkan membalas perbuatan musuh sejauh itu setimpal. Namun, hal itu akan menjadikan kita stagnan di satu titik, tak melangkah menuju perbaikan diri.

Kendati demikian, kita masih memiliki kuasa penuh untuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh. Lantas, bila kita tak punya musuh bagaimana?

Ya… kita tak perlu mencarinya. Anjuran mendengarkan musuh bukan berarti anjuran untuk mencari musuh saat kita tak memilikinya.

4. Belajar dari Pengalaman

“Pengalaman adalah guru yang terbaik”, begitu ungkapan yang kerap kita dengar. Melalui pengalaman, kita akan lebih tahu ke mana mesti berjalan.

Saat kita pernah terjatuh di satu lubang, di kemudian hari kita akan tahu letak lubang tersebut dan sudah sepatutnya kita menghindar darinya.

Jika kita tetap―secara sadar―terjatuh pada lubang yang sama tersebut, artinya kita memang tak memiliki niatan untuk memperbaiki diri.

Pengalaman yang dimaksud di sini tak berhenti pada pengalaman diri sendiri, melainkan juga pengalaman orang lain. Dengan demikian, sumber pembelajaran kita dalam introspeksi diri dan mengetahui ketidaksempurnaan diri menjadi lebih luas.

Pertanyaan terakhirnya, apakah Islam pernah menyinggung soal introspeksi diri? Jawabannya, iya. Kita bisa menemukannya dalam surat al-Hasyr (59) ayat 18 berikut ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.

Editor: Lail

Gambar: Pexels