Akhir-akhir ini viral ‘Sayembara Misuh 2020 tingkat Internasional’ yang diadakan oleh akun instagram @jawasastra, dengan tagar #misuhipandemi. Tenang, di sini saya tidak ingin membahas tentang kompetisi tersebut, melainkan apakah ‘misuh’ sudah begitu menjadi budaya di masyarakat kita, khususnya kawula muda? Sampai dibikin kompetisi segala.

6 Golongan Misuh

Dalam KBBI V, ‘misuh’ berarti mengeluarkan pisuhan, yang memiliki padanan kata ‘memaki’. Sedangkan memaki artinya mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang adat untuk menyatakan kemarahan atau kejengkelan.

Ada juga loh ternyata, klasifikasi ragam bahasa misuh menjadi enam golongan, yaitu:

  1. Yang bertalian agama atau kepercayaan,
  2. Nama bagian tubuh,
  3. Fungsi bagian tubuh,
  4. Sinonim kata bodoh,
  5. Nama-nama binatang,
  6. Bertalian dengan kelamin.

Jika menurut definisi tersebut, saya pikir tidak ada kejanggalan antara pisuhan dan etika dalam masyarakat umumnya. Sampai sini, nggak perlu secara konkret menyebutkan contohnya satu-satu kan~

Belum lagi, saya sebagai orang Jawa Timur menyorot pisuhan jawa timuran -mohon maaf- ‘Jancok!’ atau cukup ‘Cok!’ yang juga sudah go nusantara, terlebih setelah menjadi judul dan disinggung di beberapa film, buku, maupun candaan. Pada akhirnya, karena sudah terbiasa, banyak pula yang memahami dan melegitimasi misuh sebagai produk budaya yang berujung pada pergeseran makna sehingga misuh tidak lagi menjadi hal tabu.

Misuh sebagai Simbol Keakraban

“Bahkan katanya jancok itu simbol perlawanan Arek Arek Suroboyo ke penjajah juga lho”.

Dari sumber yang saya himpun, kata jancok setidaknya punya empat versi sejarah. Ada yang mengatakan berasal dari bahasa Arab, da’ suu’  yang artinya tinggalkan keburukan; Merupakan ejekan serta simbol kekesalan untuk penjajah Belanda dari plesetan yantye ook; Kerja paksa Jepang dari kata sudanco yang artinya ayo cepat; Hingga berasal dari singkatan jan cak dan umpatan Jawa jaran ngencuk (kuda yang berhubungan badan). Terlepas dari segi historisnya, secara umum ungkapan jancok dalam kamus daring Universitas Gadjah Mada diartikan ‘sialan, keparat, brengsek’ untuk mengekspresikan kekecewaan atau keheranan luar biasa.

“Terus kan simbol keakraban jugaa” katanya.

Kalau di daerah tertentu seperti Surabaya dan sekitarnya, ungkapan ini berlaku biasanya pada teman sebaya, meski tidak sepenuhnya benar. Kalau benar itu simbol keakraban berlebih, pasti lebih uwu lagi andaikan 2 orang pasangan ngegombal “I love you to the moon and back, cok”, atau anak berpamitan kepada bapaknya “Aku sekolah ndisik, cok”. Nyatanya, opsi digampar dan potong uang jajan lebih jelas di depan mata.

            Belum lagi, jika istilah tersebut dalam kategori tabu berlebih dengan ciri bahasa jawa yang lebih halus seperti di daerah-daerah Jawa Tengah atau DI Yogyakarta ( tanpa bermaksud menyinggung SARA ). Tentu penggunaan tersebut tidak tepat pula sebagai adat istiadat dan budaya adiluhung Jawa khususnya.

Bagaimana Misuh dalam Islam

Sebelum menyimpulkan boleh tidaknya misuh dalam Islam, perlu diingat bahwa Islam adalah agama rahmat bagi semesta dengan ajaran sempurna, menghormati yang tua dan memuliakan yang muda. Rasulullah adalah suri tauladan paling sempurna yang tidak pernah marah kecuali membenci hal-hal buruk, apalagi memaki dan mencela bahkan pada para pembencinya dan orang kafir sekalipun. Apalagi Sahabatnya.

Islam bahkan sangat berhati-hati pada hal-hal yang berpotensi menyinggung perasaan dalam bermuamalah seperti ditegaskan dalam ayat pertama al-Humazah “wailulli kulli humazatil lumazah”, kecelakaanlah bagi pencela dan pengumpat. Lebih lebih ditegaskan di ayat lain seperti dalam Quran surat al-Hujurat ayat 10-11 tentang larangan memanggil dengan panggilan buruk, mencela, gibah), dan sejenisnya.

Alternatif Misuh yang Berpahala

Islam kasih solusi kok yang bikin semua hal bernilai pahala dan sedekah, yaitu kalimat-kalimat thayyibah seperti dawuhnya Rasulullah: Setiap tasbih, tahmid dan kalimat-kalimat thayyibah yang adalah sedekah. Ditegaskan juga kalau pilihan bagi yang beriman pada Allah dan hari akhir hanya dua, berkata baik atau diam. Coba tiap kesel bilangnya “Astaghfirullahal’adzim” kan bikin adem dan berpahala.

***

So, ayo berubah pelan-pelan! Kalo pengen komen yang ‘wah banget’ bisatuh cari padanan selain mlesetin “Anjay keren banget”, misalnya cukup “Asliiik keren bangettt yakiin”, kalau sekiranya ‘MasyaAllah Tabarakallah’ masih bikin nggak pede atau belum ‘kita banget’. Xixixi

Tetep nggak ngurangin kerennya kamu kok.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْBarangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata baik atau diam.

Penulis: Zakia Ilma Mazida

Penyunting: Aunillah Ahmad