Diskusi Warkop kembali bergeliat, setidak-tidaknya untuk membicarakan sejoli Anis Matta dan Fahri Hamzah yang baru saja mendirikan partai baru, Gelora namanya. Dua sosok yang dikenal vokal tersebut sebelumnya merupakan kader dari Partai Keadilan Sejahtera, bahkan bisa disebut kader “istimewa” karena pada permulaan partai tersebut dibangun, merekalah yang dipercaya menjadi pengurus. 

Dalam sebuah tulisan di Kompas (13/11/2019 dijelaskan bahwa tujuan didirikannya partai  gelora adalah untuk menghapus dikotomi antara Islam dan nasionalisme. Di kesempatan lain ketua umum partai Gelora, Anis Matta, mengatakan bahwa “perbedaan yang paling fundamental adalah pada semangat mengindonesia. Pada semangat mengintegrasikan diri pada ruh, jiwa dan budaya Indonesia secara keseluruhan”. Perbedaan fundamental disitu adalah antara PKS dan Gelora. Kemudian beliau melanjutkan bahwa pikiran diatas adalah hasil dari perenungan dan kajian yang mendalam pada Lembaga The Future Institute yang didirikannya.

Anis Matta dan Fahri Hamzah ; Kesamaan Ide

Framing masyarakat Indonesia bahwa PKS adalah bentuk lain dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir tak bisa disangkal lagi. Termasuk kedua tokoh Anis Matta dan Fahri Hamzah. Anis Matta dalam beberapa tulisannya rupanya mengidolakan bahkan pernah melabeli Hasan Al Banna sebagai pemegang saham kebangkitan Islam. (Anis Matta, Pemegang Saham Kebangkitan Islam dalam Majalah Sabili edisi 25 Juli 2000, hlm. 48-51). 

Menurut penulis setidaknya ada dua hal yang membuat Anis Matta melabelinya sebagai pemegang saham kebangkitan Islam. Pertama, Hassan Al-Banna sebagai seorang yang revolusioner telah berhasil memanajemen gerakan agar lebih canggih dalam perencanaan dan pemobilisasian massa. Kedua, Hasan Al-Banna berhasil menginspirasi tokoh lain di negara lain untuk bangkit, sekadar contoh Abdullah Azzam di Afganistan dan Abul A’la Al Maududi di Pakistan dan akhirnya menjadi api bagi gerakan-gerakan Islam selanjutnya. Ketiga, Pada saat itu Anis Matta masih menjabat Sekjen Partai Keadilan, toh ideologi partai yang condong ke Ikhwanul Muslimin tak mungkin seorang kadernya membangkang dengan memojokkan dan menampakkan kekurangan sang tokoh. 

Beda halnya dengan Fahri Hamzah, Fahri memang dikenal sebagai singa jalanan sebelum hijrah dan menjadi singa parlemen. Aktivis 98 ini mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada tanggal 29 Maret 1998 lewat deklarasi Malang. Masjid-masjid kampus menjadi basis gerakan organisasi ini. Shaf-shaf sholat yang masih kosong diisi dan bahkan harus dirapatkan. Melalui KAMMI ini kader-kader PKS yang baru disiapkan. PKS dan KAMMI ibarat sepasang sandal yang saling melengkapi. Meminjam Istilah Noorhaidi Hasan bahwa KAMMI juga adalah kepanjangan tangan dari Ikhwanul Muslimin Mesir. Akhirnya, Fahri menjadi Kader dari PKS dan sama-sama membangun PKS dengan Anis Matta.

Gagasan dan ide yang sama membuat keduanya sulit dipisahkan, bahkan dalam polemik dalam tubuh PKS keduanya terlihat satu tim, kompak mempertahankan argumen. Hingga membentuk partai Gelora yang keduanya menjadi pucuk pimpinan partai.

Paradigma Baru

Pergeseran pemikiran yang ada diantara keduanya penulis kira mengejutkan. Sebab, kader Tarbiyah yang banyak memperjuangkan aspirasi Islam politik yang vokal sekitar awal 2000-an ini kini membelot membentuk partai yang nasionalis. Penulis kira ada beberapa alasan kenapa Anis dan Fahri membentuk Partai yang lebih nasionalis daripada partai sebelumnya yang banyak memperjuangkan Islam. 

Pertama, Secara historis partai politik yang berbasis Islam di Indonesia belum ada yang mampu menandingi kegemilangan Masyumi pada masa Orde Lama. Sejak permulaan reformasi, belum pernah memenangi Pemilu sekalipun. Tentu kita bisa beralasan, itu merupakan dampak kebijakan Soeharto, namun Partai-Partai yang katanya memiliki lumbung suara ormas Islam tertentu-pun belum pernah memenangi Pemilu. Paling banter berada di posisi lima besar. PKB, PPP dengan kaum nahdliyin nya, PAN yang identik dengan Muhammadiyah dan yang paling parah PBB yang masih mati suri. 

Kedua, kelihatannya orang lebih mementingkan agama sebagai aspek peribadatan dan berdimensi privat dari pada ditarik pada ranah politik. Toh pada kenyataannya kultur politik Indonesia memang tidak mendukung untuk mengembangkan partai Islam, mengingat Indonesia yang heterogen dan budaya yang kompleks. Jika mendirikan partai Islam, suara  non muslim sedikit terakomodir.  

Ketiga, aspirasi-aspirasi umat Islam juga bisa diperjuangkan melalui partai politik nasionalis yang cenderung menguasai panggung politik Indonesia. Kebanyakan juga para pemilih dan kader partai nasionalis adalah orang-orang Islam juga. 

Mungkin hal itu yang menjadi pertimbangan Anis Matta dan Fahri Hamzah untuk mendirikan partai yang cenderung lebih nasionalis sampai dikatakan sekuler. Penulis merasa bahwa Gelora akan tetap nasionalis walaupun tidak meninggalkan umat Islam yang mengingatkan penulis pada adagium dari Cak Nur yang terkenal, “Islam yes, Partai Islam No”.