Jika ada bahasa yang menyatukan seluruh manusia di bumi ini, barangkali itu sepak bola, sebagai olahraga paling populer di dunia. Tatkala bola bergelinding di final Piala Dunia, misalnya, jika diibaratkan mata, dunia seolah berhenti berkedip pada momen itu. Makna dari gelinding bola lebih dari sekadar kucuran keringat pemain. Hikayat panjang sepak bola telah menjadikan olahraga tersebut sebagai makna perjuangan, identitas, budaya bahkan agama.

Religiusitas Sepak Bola

Tak heran, sepak bola menumbuhkan makna-makna spiritualitas tersebut. Iswandi Syaputra dalam Religiusitas Sepak Bola dalam Rezim Media: Perspektif Fans Sepak Bola Indonesia menjabarkan bahwa pada progresifitasnya, “Sepak bola mengandung dua dimensi religius berupa berbagai hal yang disakralkan dan prilaku pemain” (2016: 90). Religiusitas dalam perilaku pemain, dimaknai sebagai spiritualitas keagamaan yang sebenarnya. Bisa kita lihat ketika pemain membentuk tanda salip saat memasuki lapangan, atau selebrasi Mo Salah, misalnya.

Sedangkan, makna religiusitas hal yang disakralkan itu, nampak dari religiusitas yang lahir dari sepak bola itu sendiri, seperti jersey, rumput hingga nyanyian. Layaknya sebuah agama, sepak bola sendiri pada akhirnya menumbuhkan banyak ritual-ritual kultus suporter kepada tim-nya. Seperti umum diketahui, bahwa chant suporter dimaknai sebagai doa dan dzikir yang mengiringi pemain di medan hijau. Maka, anthem dimaknai sebagai ibadah yang lebih khusyuk, selayaknya ritual sakral keagamaan.

Walaupun sama-sama berdasar dari nyanyian, perbedaan juga nampak pada struktur lagunya, di samping pemaknaan yang membedakan antara anthem dan chant seperti di atas tadi. Struktur chant biasanya lebih simpel, kalaupun merupakan adopsi lagu populer, biasanya hanya bagian reff saja. Misalnya, bagian reff “Cucak Rowo” Didi Kempot yang gubahan liriknya bagian reff-nya menjadi chant populer suporter dengan beragam versi seperti Arema, Persis Solo hingga Persija. Dan kalaupun chant lahir sebagai karya original suporter, lirik dan strukturnya biasanya tak se-kompleks lagu pada umunya.

Anthem, biasanya memiliki struktur yang kompleks dari opening, chorus, reff hingga closing, selayaknya lagu-lagu di Spotify. Dan sebagai lagu yang dimaknai lebih sakral, anthem juga biasanya dinyanyikan di awal dan selepas pertandingan saja. Contoh populernya tentu YNWA milik Kopites, sebagai ritual pemujaan yang lebih sakral dan emosional kepada pemain Liverpool di awal atau selepas laga. Pun dengan lirik panjang dan struktur lagu yang lebih kompleks, hingga lantunan yang lebih lambat. Sangat berbeda dibandingkan dengan Alez-alez-alez, misalnya.

Kultur Anthem di Indonesia

Saat dunia mengenal YNWA, di Indonesia kultur kultus itu juga menjamur sebagai wujud kesadaran religitualitas yang lebih mendekatkan. Lahirnya anthem itu tercatat dimulai di Solo pada akhir 2013-an kala Pasoepati dan Surakartans membawakan lagu Satu Jiwa milik band celtic punk The Working Class Symphony. Lagu yang tak sengaja diciptakan untuk Persis, malah populer di kalangan suporter, hingga menjadi anthem Persis Solo dan menancapkan kultur anthem di Indonesia. Pada 2014, kala Timnas U-19 menyambangi Solo, Satu Jiwa membuat Indra Sjafrie kepincut sehingga Satu Jiwa dikenal publik.

Selepas Satu Jiwa pada 2013-2014-an, atau sejak 2015-an sampai 2016-an, beberapa suporter tim besar seperti PSIM dengan AYDK-nya, lalu PSS dengan Sampai Kau Bisa, hingga Bersinar milik PSIS menjadi lanjutan dari babak anthem. Momen besar lainnya terjadi tatkala tim besar lain seperti, Persija dengan Persija Menyatukan Kita Semua, serta Song for Pride Persebaya meluaskan babak anthem, lantas anthem makin menjamur.

Dan selayaknya ajaran keagamaan, ritual ini tak serta merta hadir begitu saja. Dakwah-dakwah di awal dilakukan, ayat-ayat lirik diedarkan dari mulut ke mulut hingga media sosial. Para “pegeden” dengan umat dekatnya, melakukan pengajaran yang lebih intim, menyanyikan di komunitas, lalu diajarkan masif di stadion, hingga para pengikut lain memahami sendiri ritualnya.

Kala anthem dilantunkan, suporter dalam khidmat memaknai setiap liriknya, pun pemain dengan sadarnya harus menerima suntikan energi sakral dari suporter itu, lalu bersama melebur dalam anthem. Haru, tangis, senyum, menyatu dalam gemuruh merdu stadion. Dengan pola sama, sebelum dan sesudah laga, sebagai ibadah wajib. Serta di waktu lain, semisal di tengah laga atau luar stadion, sebagai ibadah sunah.

***

Dari ritual sakral ini, harapannya tentu untuk menguatkan harapan agar meraih prestasi. Proses dari prestasi itu, adalah ketika suporter, pemain dan manajemen sama-sama menghayati betul ritual ini, sebagai manifestasi rasa cinta terhadap tim. Dan wujud dalam proses itu, lebih sekadar ritual repetitif semata, tetapi semua harus benar-benar memaknai anthem lalu memberikan sepenuh hati untuk tim-nya. Untuk itu, mari sama-sama memaknai anthem dengan hati. Dan mari berdoa, agar pandemi berlalu dan kita bisa kembali beribadah jemaah ke stadion.

Editor: Nirwansyah

Gambar: Shopee