Setahun belakangan aku beberapa kali mendengar/membaca pendapat bahwa kita nggak boleh bersyukur karena orang lain lebih menderita. Bahwa bersyukur harus tulus. Bersyukur itu ya karena apa yang kita punya, bukan karena melihat penderitaan orang lain.

Pendapat ini bisa aku terima dan cerna dengan baik. Misal untuk bersyukur karena harta, kita nggak harus menunggu kaya. Nggak baik juga bersyukur masih punya orang tua setelah hanya karena melihat penderitaan teman-teman yang kehilangan orang tua.

Bersyukur Karena Orang Lain Lebih Menderita

Ada yang bilang, kalau kita hanya bersyukur setelah melihat orang lain lebih menderita itu egois. Iya dong, egois. Orang lain lebih menderita dibanding kita, kok kita malah bersyukur? Orang lain kesusahan kok kita malah bersyukur.

Ini semacam… Kalau nggak ada orang yang kesusahan kita nggak akan merasa puas. Kita selalu merasa kurang. Begitu pula kalau nggak ada bencana dan nggak ada azab kita nggak ingat bahwa manusia ada batasnya.

Apalagi kalau bersyukurnya dengan menangis, terharu di depan orang yang kesusahan. Ditambah dengan embel-embel perkataan “Aku biasa hidup enak, terharu ketika merasakan hidup semacam ini. Jadi ngga nyangka ternyata hidup orang lain lebih susah” ala-ala tukar nasib gitu.

Bersyukur semacam ini yang patut dipertanyakan. Apakah benar-benar bersyukur namanya kalau baru bisa bersyukur setelah tahu keadaan orang lain nggak seberuntung kita?

Nilai yang bagus dari perenungan ini kan? Aku sendiri setuju, tapi punya pengalaman yang berbeda. Dan bikin aku punya nilai baru untuk urusan bersyukur ini.

Yang Luput dari Rasa Syukur Kita

Sekitar 11 bulan lalu, aku berangkat KKN ke lokasi yang nggak terbayangkan. Pulau Sailus Kecil namanya, desanya adalah Desa Poleonro. Lokasi ini berada di tengah Kepulauan Indonesia. Bisa dibilang Kepulauan Tengah Nusantara. Center of Indonesian Archipelago. Atau, bisa juga dibilang Center of Nowhere (tengah-tengah dari ketiadaan). Karena memang jauh dari mana-mana. Mau ke pasar harus 7 jam naik kapal kayu, atau menunggu kapal Pelni yang hanya ada 10 hari sekali dengan waktu tempuh 8-9 jam.

Di sana nggak ada listrik. Airnya payau sampai ke tengah pulau. Nggak ada mobil. Tanahnya nggak bisa ditanami tanaman pangan yang produktif. Sekolah yang efektif cuma SD, kalau SMP gurunya kebanyakan dari luar pulau–banyak guru yang datang hanya dua kali dalam setahun. Itu pun sekali datang nggak lebih dari tiga pekan. SMA bagaimana? Nggak ada di Pulau Sailus Kecil, adanya di pulau lain.

Oh iya, di sana jauh dari mal, McD, bahkan juga jauh dari Indomaret atau sekadar jalan aspal!

Nah, di sanalah aku merasakan kerinduan yang amat sangat buat sekadar masuk ke Indomaret dan Alfamart. Atau yang lebih sepele lagi, aku rindu mandi pakai air tawar, rindu makan ayam geprek, rindu makan tahu-tempe.

Sekembalinya ke Jogja, pengalaman ini bikin aku bersyukur. Bersyukur bisa mandi air tawar, bisa naik mobil, bisa makan tahu tempe, bisa makan daging juga kalau ada uang lebih. Tapi aku jadi bersyukur karena penderitaan orang lain, gimana dong?

Setelah KKN inilah aku paham. Bahwa benar adanya kita nggak boleh bersyukur karena penderitaan orang lain. Tapi ada hal-hal yang luput dari rasa syukur kita jika nggak melihat penderitaan orang lain.

Orang di daerah dengan air bersih yang cukup apakah bisa maksimal bersyukur karena bisa mandi? Tentu enggak.

Pelajar-mahasiswa di perkotaan apakah bersyukur kalau bisa kuliah bersama dosen dan guru? Mungkin bisa, tapi banyak juga yang malah mengharapkan jam kosong.

Kalau kita bisa makan tahu dan tempe apakah kita bersyukur? Biasanya sih enggak, atau minimal jarang bersyukur plus banyak mengeluh.

Kalau kita bisa makan sayuran apakah kita bisa bersyukur? Boro-boro bersyukur, malah banyak yang nggak suka sayur hehehe.

***

Jadi aku setuju bahwa kita nggak boleh bersyukur hanya karena melihat orang lain lebih menderita dibanding kita. Tapi sebagai manusia biasa aku juga sangat maklum kalau diriku, atau orang lain lupa bersyukur sehingga harus ada pembanding untuk bisa bersyukur. Karena sangat mungkin pengalaman setiap orang beda-beda, padahal pengalaman-pengalaman pribadilah yang paling mungkin bikin orang bisa bersyukur.

Yang terpenting, coba diusahakan bersyukur ketika melihat orang lain menderita itu cukup disimpan dalam hati. Atau, kalau mau diungkapkan ke orang lain, coba diungkapkan dalam ruang privasi. Biar syukur kita baik tujuannya, bukan malah bersyukur di satu sisi, tapi menyakiti di sisi yang lain.

Jangan lupa dikonversi syukurnya menjadi aksi yang baik, yang membangun. Bukankah baik kalau perkataan kita nggak menunjukkan rasa syukur, tapi tindakan kita yang menyatakan?