Mata pelajaran (mapel) mulok alias muatan lokal adalah mapel yang sifatnya tambahan (bukan pokok). Biasanya, mapel ini belajar tentang dan terdiri dari mata pelajaran yang sesuai dengan budaya, sumber daya, dan potensi yang ada di masing-masing daerah terkait. Artinya, tidak semua sekolah memberikan mapel mulok yang sama. Setiap provinsi, bahkan kota sekalipun memiliki mapel mulok yang berbeda.

Saya ingat sekali saat itu Saya dan seorang teman mengobrol cukup serius tentang pengalaman sekolah kami beberapa tahun terakhir. Kebetulan, teman saya ini sekolah di daerah Tangerang hingga jenjang SMA. Sedangkan saya sendiri sempat sekolah di Kabupaten Batang dan Pekalongan. (FYI, buat yang belum tau, Batang terletak di Timur kota Pekalongan persis, ya). Nah, perbedaan letak geografis dan budaya ini membuat jenis mapel mulok kami berbeda.

Entah ketika sekolah di Batang atau Pekalongan, mulok yang Saya dapatkan selama itu seputar bahasa Jawa dan seni sablon. Tidak ada bedanya. Terang saja, saat itu Saya masih bisa maklum, karena memang mayoritas masyarakat Pekalongan dan Batang pinggir bekerja di bidang sablon-menyablon. Entah jadi juragan, atau kulinya saja (walaupun pilihan kedua lebih banyak). Saya justru kaget ketika mengetahui mapel mulok teman saya di Tangerang adalah corel draw dan bahasa Jepang.

Yang terlintas dalam benak Saya kali pertama mendengar hal itu adalah betapa pihak sekolah dan pemerintah daerah teman saya sekolah tadi berpikir cukup maju. Meskipun jika dirunut dari definisi mulok sendiri kedua mapel itu cukup melenceng jauh. Ya gimana bisa ceritanya daerah Tangerang malah belajar bahasa Jepang, gitu lho. Akan tetapi, alih-alih mengomentari seputar bahasa yang tidak nyambung sama sekali, saya justru mengapresiasi mapel corel draw.

Prioritaskan Tujuan dan Kebutuhan

Terlepas dari definisinya, tujuan diberikan mulok sebagai mata pelajaran tidak lain adalah untuk membekali keterampilan kepada siswa. Hemat Saya, poin tujuan ini yang perlu digarisbawahi sehingga mulok berjalan sebagaimana mestinya. Seperti teman saya yang mengaku corel draw benar-benar membantunya menyelami dunia digital sesederhana editing foto, misalnya. Terlebih dengan perubahan budaya saat ini yang semuanya sudah terdigitalisasi. Bisa dikatakan, mulok yang diberikan sesuai dengan kebutuhan juga.

Berbeda dengan corel draw, materi sablon yang Saya dapatkan dahulu tidak diberikan secara serius dan tampak sekilas saja. Kami—Saya dan teman sekelas—sampai bertanya-tanya apa pentingnya mapel tersebut, karena memang guru pun membawakannya dengan asal-asalan.

Hal serupa juga terjadi pada mapel mulok bahasa Jawa. Saya kira, meskipun mapel ini tidak akan membuat kami benar-benar menguasai bahasa Jawa dan akan selalu mengaplikasikannya, bahasa Jawa cukup krusial lantaran lambat laun mulai ditinggalkan. Namun, pengajar justru tampak mengabaikan kepentingan tadi.

Dijadikannya bahasa Jawa sebagai mapel mulok justru membuat beberapa dari kami (siswa) makin malas mempelajarinya. Bagaimana tidak, kami yang notabene tidak mengenal wayang, mendadak diberikan cerita satu potong demi sepotong tanpa pengantar. Bukan hanya itu, penyampaian materi yang monoton (kurang inovatif) pun membuat siswa kian malas belajar bahasa Jawa.

Meskipun sekolah bukan faktor penuh untuk mengarahkan minat dan kemauan siswa, tetapi setidaknya pengajar memiliki andil di dalamnya. Dengan sistem pengajaran yang kurang terstruktur, tidak heran kalau saat ini banyak anak yang tidak mengerti aksara Jawa, tembang Jawa, juga bahasa Jawa yang banyak tingkatannya itu.

Proses Belajar Mengajar Atraktif

Mapel mulok itu hanya contoh kecil saja. Kurikulum pendidikan negara kita yang mengharuskan anak sekolah melahap semua jenis mata pelajaran membuat mereka jengah bukan main. Sebagai seorang yang pernah mengenyam pendidikan formal selama 12 tahun di sekolah yang biasa-biasa saja, Saya tentu berharap agar adik tingkat dan siswa lainnya mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Apalah guna kurikulum terus berubah jika pendidik masih belum berbenah. Saya tidak sedang menggeneralisasi semua pengajar seperti itu, hanya saja wajah pendidikan negara makin terlihat buruknya terlebih ketika pandemi saat ini. Jika pengajar selalu membuat tema pembahasan setiap mapel secara atraktif, saya kira siswa akan terpikat.

Contoh sederhananya yaitu pada tema alat reproduksi. Di dalam kelas, pengajar bisa memegang perisai untuk mencegah seks dini, kekeran seksual, hingga kesetaraan gender jika memang fakta lapangan (suasana kelas) menunjukkan adanya ketimpangan. Bukankah lebih baik jika hal-hal yang demikian sudah diperhatikan sedari awal?

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Tirto.ID