Sudah banyak yang mengulas tentang kekurangan film Di Bawah Umur, mulai dari beberapa adegan yang tidak masuk akal; gaya Angga Yunanda (pemeran Aryo) yang dianggap terlalu meniru Dilan sekaligus Lupus; hingga pesan edukasi yang justru ngadi-ngadi. Meskipun semua kekurangan tersebut memang benar adanya, tetapi saya mempercayai bahwa setiap hal yang buruk selalu menyimpan sisi baik dan setiap hal yang baik tidak berarti bebas dari kekurangan.

Sebut saja seperti kotoran sapi yang kerap dianggap kotor, najis, dan menjijikkan, nyatanya memiliki nilai guna sebagai pupuk alami untuk kesuburan tanaman. Begitu pula perempuan cantik yang digandrungi para lelaki berisik, nyatanya juga tak selalu berbahagia dengan kecantikannya. Sesekali kecantikannya juga bisa membahayakan keberlangsungan napasnya.

Kelebihan Film “Di Bawah Umur”

Semua hal yang telah disebutkan di atas juga berlaku pada film Di Bawah Umur. Meskipun dipenuhi bejibun kritikan, saya yakin masih ada beberapa sisi keunggulan dari film Di Bawah Umur. Beberapa di antara kelebihannya adalah penggunaan satire pada beberapa dialog, adegan bad boy yang cukup cool (meskipun tak layak ditiru sama sekali), dan ungkapan elegan tentang hubungan percintaan.

Menurut “kamus serba tahu” (Kamus Besar Bahasa Indonesia), satire dimaknai sebagai ungkapan sindiran yang mengandung unsur kelucuan karena kandungan ironi di dalamnya. Gaya sindiran seperti ini diungkapkan oleh Bu Endang kepada Kevin yang sibuk mengomentari masalah orang lain.

Dengan tenang, Bu Endang berkata, “Kevin, sebaiknya memikirkan diri kamu sendiri daripada orang lain, agar kamu makin ganteng dan bisa naik kelas.” Ungkapan satire Bu Endang sontak saja membuat suasana kelas bergemuruh oleh suara gelak tawa para siswa. Awalnya Bu Endang seakan memuji dengan ungkapan makin ganteng, namun ironisnya Bu Endang menutup kalimatnya dengan ungkapan yang berlawanan, yakni bisa naik kelas sebagai wujud ejekan terhadap Kevin. Memangnyatidak naik kelas itu sebuah prestasi yang bisa dibanggakan, kah?

Kelebihan selanjutnya adalah cara Aryo menunjukkan acting bad boy-nya yang cool ketika memperdayai Bu Endang dengan gombalan recehnya. Dikisahkan bahwa Aryo dan dua temannya tak pernah mengikuti jam pelajaran Bu Endang sehingga mereka bertiga dipanggil ke ruang guru untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut.

Ketika Aryo ditanyai ihwal alasannya membolos, dengan cool-nya ia menjawab bahwa ia takut menimbulkan skandal. Aryo berdalih bahwa kecantikan Bu Endang membuatnya benar-benar baper sehingga agar tidak memicu skandal antara guru dan siswa, ia memilih membolos jam pelajaran Bu Endang. Ini mah the real bad boy yang mengibuli guru hingga ke usus-ususnya, tetapi agaknya perlu dipertanyakan lagi: layak kah adegan seperti ini menjadi sebuah edukasi?

***

Terakhir, terdapat kutipan menarik yang disampaikan oleh Lana ketika meminta kejelasan hubungan kepada Aryo. Kurang lebih bunyinya seperti ini: Aku cuma pengen tahu, posisiku itu di depanmu; di belakangmu; atau di sisimu? Super tenan kalimat tanya gaya penegas yang disampaikan oleh Lana. Caranya bertanya tidak disampaikan dengan ‘murah’ seperti kita ini pacaran atau cuma temenan, sih? Atau sejenisnya, tapi diungkapkan dengan ‘mahal’ lewat kalimat metaforis yang manis.

Akhir kata, film Di Bawah Umur memang jauh dari ekspektasi. Namun cukup tidak adil jika mengabaikan unsur-unsur kelebihannya hanya gegara ekspektasi yang tidak terpenuhi.

Editor: Nirwansyah

Gambar: Milzeru.com