Sudah pada baca belum nih buku Totto-chan? Buku ini sangat direkomendasikan buat kalian yang bercita-cita menjadi tenaga pendidik yang baik.

Novel Totto-chan diangkat dari kisah nyata untuk mengenang sosok pendidik, Sosaku Kobayashi. Latar waktu novel ini saat masih terjadinya Perang Dunia kedua. Karena di akhir cerita, sekolah Tomoe ikut turut hancur oleh serangan bom Amerika.

Ada keunikan tersendiri yang dimiliki oleh Sekolah Tomoe dibandingkan dengan sekolah pada umumnya. Sekolah yang ruang kelas dan setiap bangunannya menggunakan gerbong kereta api. Seolah memberi makna, bahwa pendidikan adalah tonggak mencapai tujuan di masa yang akan datang. Kereta mesti memiliki tujuan di dalam perjalanannya. Dan bukankah, sekolah ada untuk membuat setiap penumpang (baca: murid) turun di tempat tujuannya masing-masing?

Maka dari itu, jika sekolah tersebut dikatakan oleh Totto-chan di dalam maupun di luar, sekolah yang hebat. Ya, itu dikarenakan ia menampilkan sebuah makna yang sangat indah. Di luarnya sekolah itu memiliki keunikan tersendiri, tidak terjebak pada standar lingkungan dan tata bangunan sekolah pada biasanya. Pun di dalamnya memiliki keunikan tersendiri, karena tidak terpenjara dengan model baku dalam mendidik.

Kritik Pada Pendidikan Konvensional

Buku novel tersebut secara jelas hendak menyampaikan kritiknya terhadap sistem pendidikan, terutama sistem pendidikan konvensional. Hal tersebut secara jelas dapat kita temukan dalam novelnya.

“…. Di sekolah seperti Tomoe, peristiwa-peristiwa yang terjadi pastilah lebih aneh lagi karena semua hal di sana memang tidak biasa. Sekolah itu tidak bisa menghindarkan diri dari kritikan yang dilancarkan orang-orang yang terbiasa dengan sistem pendidikan konvensional.” (hal. 203)

Seperti yang kita ketahui bersama, pada sistem pendidikan konvensional. Semuanya telah dirumuskan dan dirancang dalam kurikulum yang tetap.

Kalau di Indonesia, kita pasti pada mengenal ada kurikulum 1994, 2004, 2006 dan terakhir ini menggunakan kurikulum 2013. Memang hal itu dihasilkan dari sebuah konvensi (kesepakatan). Akan tetapi, kesepakatan dari mereka yang dianggap memiliki wewenang. Mereka yang memiliki wewenang itu yang kita sebut sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Dan kurikulum itu, meng-generalisasi setiap murid dalam capaian yang telah ditentukan di dalam kurikulum.

Kembali pada cerita novel. Tokoh utamanya, Totto-chan dikeluarkan dari sekolahnya yang lama. Karena dianggap sebagai anak yang sulit untuk diatur. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa pendidikan konvensional cenderung menyamakan model pembelajaran dan standar etika pada setiap anak-anaknya.

Maka kelakuan Totto-chan, yang karena keingintahuannya yang besar. Selalu terlihat mengganggu bagi proses belajar mengajar di kelas. Seperti saat ia berdiri di dekat jendela, menunggu pemusik jalanan lewat lalu memanggil mereka untuk memainkan musik. Atau seperti saat Totto-chan membuka dan menutup meja sekolahnya karena terpacu belum pernah melihat meja seperti itu.

Atas rasa keingintahuan itulah, maka guru tidak sanggup untuk mengurus Totto-chan dan memilih untuk mengeluarkannya dari sekolahan. Ya absurd sih, kita pun bakal merasa Totto-chan adalah anak yang aneh jika tidak secara langsung mencoba memahami dirinya.

Namun, setelah Totto-chan di pindahkan ke sekolah Tomoe. Kepala sekolah yang baru mencoba memahami tingkah laku dan kecakapan Totto-chan untuk memahami apa yang mesti dia lakukan terhadap Totto-chan.

Pelajaran Bagi Pendidik dari Novel Totto-Chan

Pada awal kedatangan Totto-chan ke sekolah Tomoe, ia diminta oleh kepala sekolah untuk menceritakan seluruh perasaan yang ingin ia salurkan pada saat itu juga. Hanya dari itu, kepala sekolah menyatakan Totto-chan diterima untuk bersekolah di sekolah Tomoe. Itu first impression yang di peroleh Totto-chan dari berada di sekolah Totto-chan. Dan semakin berjalannya waktu, Totto-chan semakin menyayangi sekolahan tersebut. Sehingga Totto-chan bahkan berubah dalam kelakuannya, dari yang dulu bisa dikatakan “merepotkan” orang lain.

Ada banyak hal menarik yang bisa kita peroleh dari membaca novel Totto-chan. Dan pada dasarnya, setiap orang tidak bisa menjadikan standar pada dirinya untuk dipaksakan terhadap orang lain. Seorang yang ingin menjadi pendidik yang baik semestinya membimbing dan berpacu untuk menumbuhkembangkan setiap orang yang ia didik.

Sering kali malah terjadi sebaliknya, mengatur dan merusak perkembangan setiap anak. Yang mestinya konstruktif, malah yang terjadi destruktif.

Karena setiap orang memilik kekhasan dan kelebihannya masing-masing. Maka dari itu seorang tenaga kependidikan baik formal maupun informal mesti memiliki mindset semacam di atas. Agar dapat langsung merasakan kehadiran pada setiap individu yang dididiknya. Sehingga setiap anak yang dididik menjadi seseorang yang optimis, penuh keyakinan, dan terus berusaha mengembangkan diri. Dan tentunya, menjadi pribadi yang istimewa dengan keunikan dan kelebihannya masing-masing.

Yuk terus berjuang dan berkarya!