Beberapa waktu belakangan ini, viral sebuah potongan video yang berasal dari salah satu episode dalam serial kartun “Upin & Ipin”. Video tersebut berisi tentang potongan percakapan antara karakter Mail, Fizi, Upin dan Ipin. Cuplikan dialog dimulai dari pernyataan Mail yang menyebutkan bahwa surga berada dibawah telapak kaki ibu. Pernyataan Mail tadi langsung ditimpali dengan pertanyaan dari Upin dan Ipin, “Bagaimana kalau tidak ada ibu?”. Pertanyaan Upin dan Ipin tadi dijawab spontan oleh Fizi yang menyebut “(apabila tidak ada ibu) maka tidak ada surga”. Sontak jawaban Fizi tadi membuat Upin dan Ipin merasa sedih. Pernyataan Fizi cukup menyayat hati Upin dan Ipin yang notabene adalah seorang Yatim Piatu.

Sifat Ceplas-Ceplos

Meskipun Fizi hanyalah tokoh fiksi yang hanya ada didalam dunia kartun, tetapi yakinlah pasti kalian punya setidaknya satu teman yang memiliki sifat ceplas-ceplos seperti Fizi. Memang, disatu sisi sifat ceplas-ceplos itu terlihat baik, karena penuh dengan kejujuran, tidak penuh basa basi dan tidak munafik. Namun perkataan yang dilontarkan oleh orang yang ceplas-ceplos seperti karakter Fizi, tak jarang membuat kita sakit hati. Pernyataan yang asal keluar dari mulut tanpa melalui proses filtrasi itu terkadang membuat hati kita tersinggung. Hal ini bukan perihal baperan atau tidak, tetapi orang lain tentunya tidak pernah tau kondisi hati dan perasaan kita saat itu.

Tentu akan sangat menyebalkan ketika teman yang ceplas-ceplos tadi malah menganggap sepele perkataannya. Dijadikannya sebagai bahan bercandaan sembari menimpali dengan perkataan “Alah gitu aja baper”. Padahal orang lain tidak pernah tau topik mana yang sensitif dan tidak dengan hati kita.

 

Saring sebelum Sharing

Istilah ini sebetulnya meminjam dari judul buku hasil karya Nadirsyah Hosen, seorang akademisi Indonesia yang kini mengajar di salah satu perguruan tinggi di Australia. Secara tekstual, istilah ini dapat dimaknai agar sebelum kita mengemukakan sesuatu alangkah baiknya menyaringnya terlebih dahulu. Tak terkecuali ketika kita hendak berbicara kepada orang lain.

Sebagai makhluk yang diberikan akal oleh Tuhan Yang Maha Esa, sudah seharusnya kita menggunakan akal kita sebaik-baiknya untuk menjaga hubungan baik kita dengan manusia lainnya. Menjaga etika dalam berbicara, berfikir sebelum berbicara, bukan berbicara dulu lalu klarfikasi kemudian.

Pentingnya Menjaga Lisan dan Perasaan Orang Lain

Sebagai orang dengan adat ketimuran, sopan santun sudah menjadi budaya yang mengakar dalam diri masyarakat Indonesia. Menjaga lisan dan perasaan orang lain adalah salah satu contoh konkretnya. Dengan menjaga lisan dan perasaan orang lain sama halnya dengan kita menjaga harmonisasi didalam lingkup pergaulan kita sehari-hari. Mengurangi risiko konflik, ketegangan, hingga dendam pribadi.

Orang tua kita mengajarkan bahwasanya apabila hendak berbicara mengenai sesuatu hal yang sensitif maka sampaikanlah dengan berbisik. Tentu ajaran itu bukan tanpa maksud dan tujuan tertentu. Kita tidak pernah tahu, ucapan kita menyinggung perasaan orang lain atau tidak. Kita pun tidak pernah tau kondisi hati lawan bicara kita.

Yang pasti, menjaga perasaan orang lain itu perlu. Meskipun kita tidak dapat terus-terusan menjaga perasaan orang lain, setidaknya kita tidak pula menyakiti hati orang lain dengan ucapan-ucapan kita. Jadilah seseorang yang mampu menempatkan diri dengan baik serta bijak dalam bertutur kata.

Penulis: M. Bagas Wahyu Pratama

Penyunting: Aunillah Ahmad