Jodoh itu misteri. Ada yang bilang jodoh di tangan kita. Tapi katanya di tangan tuhan juga?

Dua hari ini dunia maya dibanjiri konten pernikahan sejoli selebriti muda yang tentu kita tau siapa mereka. Bahkan pada Jumat lalu, status WhatsApp saya banyak dipenuhi foto pernikahan mereka berdua.

Tidak lain tidak bukan, kehebohan ini bersumber dari para netizen yang tidak henti-hentinya membicarakan sepasang mempelai anyar tersebut dan mengunggah foto-foto mereka di media sosial. Ada yang mengirim ucapan selamat, ada yang iba pada sahabat mempelai, dan yang paling penting, jadi banyak orang berharap ingin seperti mereka.

Rupanya, perihal proses pra nikah yang dilakukan pasangan tersebut menarik perhatian netizen karena hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat menuju upacara sakral pernikahan yang mungkin hanya sekali seumur hidup.

Sebetulnya proses pra nikah seperti itu tidak sedikit terjadi di Indonesia. Sebut saja kawan kawan saya yang sudah lama pacaran namun berakhir menikah dengan yang lain, yang baru saja dikenal dan juga baru datang dalam kehidupannya.

Pasangan sejoli ini disebut-sebut oleh para netizen alias warganet sebagai goal muslim relationship. Ramai-ramai mereka menginginkan proses pernikahan yang sama, menikah tanpa pacaran. Padahal ya, tidak semudah itu Ferguso. Lewat khutbah nikah atau buku dan artikel tentang pernikahan yang saya baca, banyak sekali nasihat yang mengatakan bahwa menikah adalah awal kehidupan.

Menikah tanpa proses mengenal secara mendalam itu banyak tantangannya, jika pembaca tidak percaya coba saja sendiri. Saya sih tidak mau ambil resiko.

Jodoh di Tangan Kita

Yang menarik dari ribut-ribut pernikahan mereka ini adalah, perdebatan soal pernikahan mereka yang meluber kemana-mana, dan terlalu banyak cocokologi netizen yang menurut saya agak sok tahu.

Mengomentari instastory mempelai perempuan yang tidak bisa masak mie di malam pertama, misalnya. Meski komentar netizen cukup kocak dan menghibur, lagi-lagi esensi dari pernikahan dilupakan karena momen yang tidak penting dikomentari secara berlebihan.

Sementara itu, cocoklogi lebay dari warganet nggak kalah menyebalkannya. Baru sehari setelah pernikahan mereka berlangsung, ada yang mengatakan bahwa mantan mempelai perempuan sudah berkorban banyak tetapi ia memilih yang baru saja hadir. Salah satu cocoklogi yang saya temui dari status WhatsApp kawan yang kurang lebih seperti ini:

Banyak yang bilang mantan si wanita kalah oleh yang menjadi suaminya

Karena ditikung di sepertiga malam (Tahajud)

Apakah ada yang memasang CCTV di kamar mereka sehingga bisa mengetahui

Ibadah suaminya lebih dari mantannya?

Ini komentar yang cukup menusuk dan luar biasa bagi saya, ibaratnya saja sudah mengalahi jobdesk malaikat pencatat amal. Bisa-bisanya netizen mengetahui ibadahnya si mempelai pria dan mantan mempelai wanita itu sekaligus? Luar biasa sekali.

Cocokologi yang dibuat-buat ini sepertinya ingin menguatkan argumen bahwa yang terbaik memang kita dapatkan hanya jika melalui proses menikah tanpa pacaran. Padahal bagi saya jodoh itu ya di tangan kita, semua pilihan ada di kita, Sang Maha Cinta pasti mengabari lewat tanda dan memberikannya entah kapan dan di mana.

Kalau definisi jodoh adalah kecocokan suami isteri dan kamu nggak kenal-kenal amat pasanganmu saat akad, gimana cara melihat kecocokan keduanya? Lalu siapa yang akan menjamin pernikahan itu cocok selain kita yang menentukan? Pacaran lama lalu menikah juga ada kok, Isyana misalnya. Kenapa bisa seperti itu? Ya karena keduanya sudah memilih berjuang bersama dan memiliki komitmen yang jelas.

Nah, buat para warganet baik yang single maupun double, nggak perlu iri, minder, julid, ataupun mengagung-agungkan proses pernikahan orang lain. Ingat, apapun yang kita lakukan dan apapun yang kita dapatkan adalah hasil dari keputusan serta pilihan kita. Jodoh kita ada disana.