Kita selalu berusaha berdamai dengan kenyataan. Sebab setiap manusia pasti memiliki permasalahan tersendiri dalam hidupnya. Seperti dirundung nasib sial bertubi- tubi, studi berantakan, pertemanan kacau, bahkan kisah cinta yang selalu tidak berjalan mulus.

Menanggapi hal tersebut, ada istilah yang cukup familiar sebagai bentuk penenang hidup yakni ‘berdamai dengan kenyataan‘. Istilah ini selalu saja terngiang dalam genangan pikiran saya. Bermula dari nasehat dari teman, juga dari buku-buku motivasi kehidupan.

Tidak heran apabila hal ini menjadi suatu energi untuk beberapa orang agar menerima kenyataan hidup yang di alaminya, tak terkecuali bagi saya. Namun waktu demi waktu berjalan saya merasa hal ini ada yang kurang tepat. Sebab ketika menerima kenyataan, saya memang merasa tenang tetapi tidak dengan gairah kehidupan, merasa stagnan. Seakan tenang namun sebenarnya menanti kehancuran lain.

Manusia : Makhluk Musayyar dan Mukhayyar

Kenyataan adalah suatu realitas yang benar-benar ada dan kita alami, mau itu buruk ataupun baik harus tetap dijalani keadaannya. Jika baik maka kita akan merasa bahagia, bahkan siapapun ingin merasakan perasaan tersebut. Tetapi bagaimana dengan keadaan buruk yang menimpa kita? Yang mana hal tersebut setiap orang berharap untuk tidak menemuinya, apalagi sampai dengan waktu yang lama.

Karena itu, disini titik fokus tulisan ini, yaitu bagaimana jika kita menemui keadaan yang tidak ingin kita temui. Akan tetapi keadaan tersebut menuntut kita untuk merasakan dan menjalaninya, bagaimana?

Ketika membaca buku Prof. Yunahar tentang Aqidah Islam pada bab Taqdir, perihal kenyataan yang diterima manusia, ada dua hal yang perlu diketahui. Pertama, manusia adalah makhluk musayyar yang berarti tidak mempunyai kebebasan berkehendak untuk memilih, menerima atau menolak. Semuanya telah dibentuk dan ditentukan. Kedua, manusia sebagai makhluk mukhayyar yang artinya  manusia memiliki kebebasan berkehendak untuk memilih, berusaha, menerima atau menolak sesuatu dalam hidupnya.

Contoh manusia disebut makhluk musayyar adalah kelahiran manusia di dunia sebagai laki-laki atau perempuan, anak dari presiden atau bukan, warna kulitnya, lekuk tubuhnya, kematiannya dan lain sebagainya. Manusia tidak memiliki kehendak. Hal-hal seperti ini tak dimintai pertanggung jawaban oleh Allah.

Dan contoh manusia disebut makhluk mukhayyar adalah manusia diberi kebebasan untuk memilih ingin makan yang halal atau haram, memiliki penghasilan yang baik atau tidak, dan sejenisnya. Hal-hal seperti itu akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Ta’ala

Dari kedua hal diatas dapat dipahami bahwa manusia sebagai makhluk musayyar memang diwajibkan harus berdamai dengan kenyataan di hidupnya sebab kita tidak memiliki kuasa atasnya, tetapi sebagai makhluk mukhayyar apakah harus seperti itu?

Jangan pasrah, kita harus mengubah

Manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilih. Ketika dirudung masalah sudah seharusnya membuat pilihan yang baik bagi diri dan kemaslahatan bersama. Karena itu apakah benar kita harus menerima, pasrah, atau berprinsip mengalir saja dalam menjalani suatu permasalahan hidup yang kita terima. Berdamai dengan kenyataan?

Jawabannya adalah tidak cukup jika hanya sebatas berdamai dengan kenyataan. Berdamai dengan kenyataan hanyalah fase awal untuk menghadapi suatu masalah berkehidupan. Setelah kita menerima, kita harus mengevaluasi diri untuk memperbaiki kesalahannya, kemudian mari meniscayakan perubahan dengan bergerak. Dimulai dengan memikirkan problem solving. Kemudian berusaha membuat hidup yang lebih baik untuk kemajuan bersama

Dengan begitu ungkapan berdamai dengan kenyataan bukan hanya sebagai penenang tetapi juga sebagai bentuk keniscayaan untuk berkehidupan. Tak hanya pasrah namun mengubah, tidak sebatas menerima tetapi lebih dari itu yakni membuat kenyataan-kenyataan baru yang lebih indah.