Sepertinya, kalau diminta nyinyir soal kelakuan netizen Indonesia, jari saya selalu gatal buat berkomentar. Ya, meskipun saya tidak menyampaikan nyinyiran ini secara langsung, selain menghindari twit-war yang buang-buang waktu dan energi, akan lebih baik jika kegelisahan saya ini disampaikan melalui tulisan agar lebih banyak dibaca oleh khalayak, dan tidak mudah disalahpahami. Dalam tulisan ini saya sebagai perempuan mendorong seluruh netizen untuk berhenti memanggil kami seperti binatang.

Berhenti Memanggil Kami Seperti Binatang!

Akhir-akhir ini beranda twitter saya sering sekali berseliweran cuitan bernada seksis. Bukan dengan bahasa yang manusiawi, bahkan yang manusiawi saja tetap tak bisa dijadikan justifikasi, lebih parah dari itu–dengan bahasa hewani, bayangkan!

Kita pasti sudah sekali dua kali melihat cuitan semacam ini mampir di beranda twitter kita:

  • Betina +62
  • Betina ngga ada akhlak
  • Kelakuan betina +62
  • Dasar betina
  • Betina mental kolonial

Tidak perlu disebutkan semuanya, kita bisa mengetik kata “betina” di pencarian dan scroll hasil pencarian menggunakan ponsel kita masing-masing. Bagaimana hasilnya? Semoga tidak hanya ponsel saya yang menunjukkan demikian. Rata-rata isinya bernada menyudutkan dan slut-shaming terhadap perempuan.

Tapi sebentar, agar pembicaraan kita lebih terarah, coba kita cek arti kata ‘betina’ di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Siapa tahu saja kan, jangan-jangan sayanya saja yang baper atau terlalu meromantisasi penggunaan bahasa populer di sosial media. Padahal mah, sebenernya guyon saja. Santai to, Mbak.

be.ti.na /bêtina/

  1. perempuan (biasanya dipakai untuk binatang atau benda): ayam –; kasau –; kotot —
  2. n cak pasangan (bagi binatang jantan): kijang jantan itu seakan-akan menangisi –nya yang tertembak

Waduh, gimana tuh perasaannya dipanggil demikian ketika kita tahu bahwa arti frasa tersebut menunjuk kepada sifat kehewanan? Yang paling sakit hati sih, jelas bukan saya sebagai perempuan. Tapi Ibu saya, yang telah melahirkan, memberi nama yang baik, membesarkan, yang juga seorang perempuan pula. (Makanya saya buat tulisan ini sebagai bentuk perlawanan, agar Ibu saya sedikit bangga, dan tidak sedih tentu saja.)

Begini ya, kami para perempuan, juga mengenal lhoh moral dan pendidikan. Kami berpikir, alat-alat kemanusiaan kami lengkap. Toh, bukankah manusia juga diciptakan sebagai sebaik-baiknya makhluk ciptaan Tuhan? Lantas untuk apa mengerdilkan derajat salah satunya? Jadi, bagi siapapun kamu, berhenti memanggil kami seperti binatang.

Seksisme Tidak Hanya Milik Lelaki

Kalau kita seangkatan, tentu akan ingat bahwa dulu semasa SD, kita seringkali mengolok-olok teman kita dengan menggunakan nama bapaknya. “Hei, Marjo!” begitu misalnya (saya pakai nama Bapak saya sajalah biar lebih fair). Dipanggil dengan panggilan seperti itu saja kita kadang kesal, bahkan balik memanggil nama bapaknya, apalagi dipanggil –hei, panggilan macam apa ini? Betina, katanya?

Bagaimana jika kita memanggil panggilan yang sama kepada laki-laki dengan sebutan “jantan”? Wah, kok kedengarannya malah bercitra positif ya. Jantan justru berasosiasi dengan kehebatan, kekuatan, dan pengakuan. Kesemua hal itu adalah citra-citra positif yang justru seorang lelaki akan dipertanyakan kelelakiannya kalau tidak membuktikan ketiga hal itu. Lantas mengapa sebutan “betina” di sosial media terdengar begitu hina?

Hal yang lebih mengejutkan adalah ketika saya iseng membaca kolom komentar, banyak juga perempuan yang menanggapi. Mereka bukan fight back, tetapi justru mengiyakan, melakukan pewajaran, dan secara halus menyerang perempuan lainnya dengan ungkapan: “Bukan aku.” / “Aku ngga termasuk.” / “Aku nggak kayak gitu, berarti aku cewek idaman!”

Aduh, ngilu. Rupanya pelaku seksisme pun bisa datang dari laki-laki maupun perempuan.

Miskonsepsi yang sering terjadi ketika seorang perempuan berusaha untuk bersuara mengenai ketidakadilan gender adalah bahwa para perempuan ini “membenci laki-laki”. Tidak, tidak seperti itu, bosque. Karena jelas seperti yang sudah ada pada paragraf sebelumnya, bahwa sikap tidak adil pun bisa datang juga dari perempuan sendiri.

Oleh karenanya yang kita perangi adalah ketidakadilannya. Kita tidak sedang berperang laki-laki vis a vis perempuan, namun berupaya menciptakan keadilan untuk keduanya. Nanti kalau para laki-laki merasa terusik dengan hal yang sama, buatlah tulisan yang sama agar kegelisahan kita saling terdengar.

Agar nyinyiran ini menjadi lebih dramatis, saya ingin menutupnya dengan nasehat bijak Jean Marais kepada Minke, “Belajarlah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”

 

Editor: Nabhan