Kalau menyebut Muhammadiyah dan rokok, dua hal ini sudah pasti bertolak belakang. Seperti kita tahu, Muhammadiyah adalah lembaga agama yang cukup ngotot atas fatwa haram rokok. Narasi ini sempat ramai diperbincangkan beberapa tahun lalu, dan sempat membuat agak ramai di masyarakat. Ada yang setuju, ada yang menolak. Ada yang santai, ada juga yang keras. Meskipun sekarang sudah sangat mereda, namun di lapisan masyarakat bawah masih ada yang ngotot dengan narasi haramnya rokok. Salah satunya, keluarga saya.

Iya, saya adalah anak yang tumbuh di keluarga Muhammadiyah yang cukup lurus. KOnservatif, lah. Ayah saya (almarhum) rajin sekali ikut pengajian ranting mingguan. Ibu saya, bahkan menjadi pengurus Aisyiyah di ranting daerah saya. Sementara saya, sejak merasa cukup dewasa, menolak penyematan lembaga atau ormas agama. Saya bukan Muhammadiyah, bukan juga NU. Saya Islam, dan saya sudah cukup dengan itu. Maka terjebaklah saya di situasi yang kurang cocok buat saya ini.

Salah satu ketidakcocokan dan perdebatan yang cukup panjang, adalah ketika orang tua saya tahu saya merokok. Ibu saya, adalah orang yang paling setuju atas fatwa haram merokok dan marah besar pada saya. Keras sekali beliau. Sementara ayah saya, agak santai. Pernah saya dulu waktu kelas 6 SD ketahuan membawa rokok, ibu saya marah-marah tidak karuan. Sementara ayah saya hanya bilang, bahwa saya masih kecil dan belum saatnya merokok. Nanti ada saatnya. Setelah dewasa (remaja, sih, lebih tepatnya), saya merokok dan bagi ibu saya itu masih seperti sebuah kejahatan.

Sebenarnya, intensitas perdebatan saya dengan ibu mengenai rokok ini dimulai sejak saya masuk SMA. Saya yang ketika itu sudah merokok, ditentang habis-habisan oleh ibu. Hampir di setiap pembicaraan tentang rokok, ibu saya selalu memakai dalil haramnya rokok untuk melarang saya merokok. Tentu saja saya menolak, karena saya tidak sepakat dengan dalil itu. Bukan menolak keras, hanya tidak sepakat dan memilih untuk tidak mengikutinya saja.

Itulah sebab perdebatan yang selalu panjang dan keras ini. Ibu saya hampir tidak pernah memakai dalil kesehatan atau batas usia untuk melarang saya merokok. Padahal, kalau saat itu ibu saya melarang saya merokok dengan dalil kesehatan atau usia saya yang beum 18 tahun ke atas, tentu saya akan susah membantahnya dan akan mempertimbangkannya. Saya memang bandel, tapi kalau memang saya kalah adu argumen, ya akan saya terima dengan lapang dada. Berhubung ibu saya melarang saya merokok dengan dalil haramnya rokok (yang mana masih bisa saya bantah), ya saya menolak kalah.

Itu menjadi masa-masa panjang perdebatan saya dengan ibu. Bahkan ketika saya sudah bisa dapat uang sendiri untuk beli rokok, ibu saya tetap tidak suka (dari dulu memang saya menghindari uang pemberian ibu saya untuk beli rokok). Bahkan, perdebatan itu berlangsung sampai dua tahun lalu, di mana saya dan ibu saya sudah capek berdebat, dan memilih untuk membiarkan saya merokok. Tentu saja dengan catatan, jangan banyak-banyak, yang mana saya terima dengan lapang dada.

Mungkin, banyak orang lain di luar sana yang mengalami hal serupa, di mana dilarang oleh orang tuanya untuk merokok. Namun, orang-orang yang seperti saya, yang dilarang merokok karena alasan agamis (dalil fatwa haram), tentu adalah orang-orang yang unik. Bayangkan saja, ketika orang tua lain melarang anaknya merokok karena alasan kesehatan atau tidak ada keturunan perokok, orang tua saya malah menjadikan alasan agamis (haram) sebagai alasan pertama melarang saya untuk merokok. Sedangkan alasan kesehatan, jadi alasan nomor dua, bahkan nomor tiga untuk melarang saya. Unik, kan?

Ya itulah perjuangan saya yang cukup panjang untuk memperoleh restu merokok dari orang tua saya yang seorang “Muhammadiyah” konservatif. Berat, memang, tapi apa boleh buat, namanya juga perjuangan, ya harus diperjuangkan. Sekali lagi, saya mengharagi keputusan mengharamkan rokok, tapi ya keputusan itu bukan buat saya, tentunya.

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels