Kalau membicarakan Kota Blitar, tentu hal-hal yang terpikirkan tidak akan jauh-jauh dari julukan “Kota Pahlawan.” Biasanya yang menjadi acuan, tidak lain dan tidak bukan adalah makam Bung Karno. Soal makanan pun, Blitar juga tidak jauh-jauh dari pecel.

Nama Blitar memang tidak sekondang nama-nama kota lain di Jawa Timur, seperti Malang, Surabaya, atau Banyuwangi, misalnya. Namun, sebagai orang yang sedikit punya darah Blitar dalam diri, saya harus mengatakan ini, bahwa kalau membicarakan Kota Blitar, maka nama “es drop” tidak boleh dilupakan.

Es Drop: Jajanan Khas Blitar

Mungkin banyak yang masih asing dengan es drop atau bahkan tidak tahu sama sekali. Wajar saja, karena level keterkenalan dari es drop ini bisa dikatakan agak medioker, alias biasa-biasa saja. Akan tetapi, sebagai jajanan khas Blitar, es drop seharusnya mampu menjadi salah satu senjata untuk menaikkan nama kota ini. Tidak banyak, lho, daerah yang jajanan khasnya itu berupa es. Kalau pun ada, paling bentuknya seperti sop buah, yang disajikan dalam mangkuk dan banyak airnya. Tentu ini sangat berbeda dengan es drop.

Es drop sendiri sebenarnya adalah es lilin, dibuat dari santan yang dicampur gula merah. Bentuknya mirip sekali dengan es campina yang harganya dua ribuan, yang bentuknya lonjong. Bedanya, es drop lebih bertekstur dan lebih besar saja ukurannya.

Kalau es campina ditusuk dengan stik pipih, es drop ini ditusuk dengan “sujen” atau tusuk sate, bahkan ada juga yang ditusuk dengan lidi. Secara kemasan, es drop juga sangat menjaga otentisitasnya. Dari kemunculannya, es drop masih bertahan dengan kemasan kertas yang hanya menutupi bagian esnya dan menyisakan bagian stiknya. Tidak hanya mempertahankan tampilan, secara rasa pun tidak ada yang berbeda dari zaman dulu.

Es drop secara tidak langsung membawa kenangan yang indah tentang masa kecil saya. Sebagai orang yang punya darah Blitar, tentu saya cukup akrab dengan jajanan khas satu ini. Zama dulu, ketika saya masih usia menjelang sepuluh atau awal belasan, saya dan keluarga cukup sering mengunjungi sanak famili (keluarga besar dari pihak Ibu) di Blitar. Paling tidak, setahun tiga sampai empat kali.

Dulu, saya hanya mengenal Blitar sebagai kota keluarga Ibu yang banyak rambutan. Itu saja. Namun, suatu waktu ayah saya mengajak untuk membeli es drop yang dijajakan keliling di sekitar rumah keluarga ibu saya. Saya yang waktu itu tidak tahu apa-apa, menurut saja. Meskipun ayah saya bukan orang Blitar, beliau cukup tahu banyak soal es drop.

Kombinasi Sempurna

Setelah membeli es drop, saya langsung saja menyantapnya. Di situ lah keajaiban terjadi. Gigitan pertama sudah memberikan rasa nyaman dan cinta terhadap es drop. Mungkin ini definisi cinta pada gigitan pertama. Gayung bersambut, ayah saya tiba-tiba bilang, kalau suka, besok sebelum pulang kita mampir dulu ke pabrik es drop untuk beli yang banyak.

Benar saja, besoknya ketika perjalanan pulang, kami mampir ke pabrik es drop di Blitar. Kami semua menunggu di mobil dan hanya ayah saya yang turun. Tidak lama kemudian, ayah kembali dan membawa satu box stereofoam berisi penuh dengan es drop. Mungkin berisi dua puluh atau tiga puluh es drop dengan berbagai varian rasanya. Jangan ditanya siapa yang paling banyak menghabiskannya, karena jawabannya sudah pasti saya.

Selama bertahun-tahu, tradisi mengunjunguk keluarga ke Blitar dan membeli es drop tetap terjaga, hingga ketika saya mulai jadi orang dewasa dan ayah sudah meninggal. Sudah tujuh tahun terakhir, kami sudah jarang mengunjungi keluarga di Blitar. Saya apalagi, tidak asyik kalau tidak ada ayah. Saya pun juga sudah jarang, bahkan hampir tidak pernah makan es drop lagi.

Meskipun ada yang menjualnya di tempat saya tinggal, namun kurang afdal rasanya jika tidak membeli langsung di kota asalnya. Entah mengapa, Blitar dan es drop adalah kombinasi sempurna. Blitar yang tenang dan sedikit panas, dipadu dengan es drop yang segar dan menenangkan.

Maka dari itu, akibat kerinduan saya dengan es drop dan Blitar, saya jadi punya satu cita-cita. Saya ingin suatu saat, saya bisa jalan-jalan menikmati kota Blitar yang tenang dengan sepeda ontel, lalu berhenti dan membeli es drop dan menikmatinya dengan damai. Ah, betapa nikmatnya hidup ini.

Editor: Nirwansyah