Namaku El, usiaku 18 tahun. Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Kata orang, anak kedua identik berbeda diantara saudara kandung lainnya. Waktu kecil, ibu pernah bilang “El, kalau rumahnya kotor dan kamu menyapu, dapet dua pahala. Tapi kalau disuruh ibu dulu, ya pahalanya tinggal satu.” Aku hanya mengiyakan, meski nggak terlalu faham apa yang dimaksud ibu.

Yang jelas, satu dan dua banyakan dua dan intinya aku disuruh menyapu. Time flies dan rumah kotor lagi. Naluri bawah sadarku menyuruh untuk menyapu. Dengan ingatan menggelitik dan penuh semangat, aku pun melakukannya. Biar dapat dua! Masak nyapu capek-capek cuma dapat satu hanya karena menunggu disuruh ibu.

Belajar Mengelola Keuangan

Menginjak usia SMA, aku sangat senang karena aku diterima di salah satu sekolah favorit berasrama di seberang pulau. Artinya, aku akan hidup merantau dan mendapatkan uang saku bulanan dari orang tua yang selama ini tidak pernah aku rasakan. Semua itu karena ibu menjadikan alasan peraturan sekolahku yang sejak SD tidak membolehkan siswanya jajan. Ibu juga nggak pernah memberikan imbalan berupa uang ketika aku berhasil melakukan sesuatu untuk membantunya.

Namun ternyata, nggak selamanya ekspektasi terwujud sesuai dengan realita. Ibu hanya memberikan uang saku pas-pasan. Pas untuk membeli kebutuhan pokok bulanan dan membayar iuran ini-itu. Hanya tersisa beberapa lembar rupiah yang eman untuk dijajankan dan lebih baik masuk tabungan. Aku seringkali tenggelam dalam lamunan. Bu, sekarang aku sudah bisa jajan tapi uangku tak cukup untuk ku belanjakan. Lebih baik aku tidak punya uang tapi aku bisa makan jajanan. Hehe. Aku tidak mungkin meminta tambahan kan? Tapi tenang bu, aku akan buktikan bahwa aku selalu punya cara jitu untuk mengatasi semua masalahku disini.

Menginjak bangku kelas dua, aku memutuskan untuk bergabung OSIS. Aku dipercaya menjadi bendahara. Sebenarnya aku takut nggak bisa mengelola uang dengan baik. Tapi dengan modal satu tahun mengelola uang yang pas-pasan dan aku berhasil mencukupkan, aku menjadi lebih percaya diri untuk bisa mengemban amanah itu. Kegiatan OSIS yang cukup padat membuat anggaran keuangan membengkak dan otomatis sirkulasi keuangannya harus dikelola secara ketat.

Belajar untuk Tidak Pamrih

“Kok kita mau ya berlelah-lelahan tanpa imbalan? Padahal uang organisasi kan banyak, apa tidak ada jatah untuk kita El? Padahal kalau dirumah, setiap kali aku disuruh orang tua selalu ada uang saku tambahan. Hehehe.” Keluh Putri dengan mode canda.

Siapa suruh gabung OSIS. Kan ini bagian dari pelajaran diluar bangku kelas Put, toh menyenangkan dan gratis.” Timpal Re.

“Kita bukan sedang bekerja, tapi sedang belajar.” Saut ketuaku sambil tersenyum bijak.

Aku pun berusaha menjawab “Iya Put, bener katamu. Kita punya banyak uang, tapi uang untuk kegiatan bersama. Semangat Put, buat jadi organiser-nya kegiatan sekolah. Kalau jalaninnya seneng, pahalanya dua. Kalau karena tuntutan program kerja dan pamrih, pahalanya satu.”

“Siap El. Imbalannya langsung dari Allah kan ya?” Timpal Ihsan diakhir percakapan, masih dengan mode canda. Seketika, aku tenggelam lagi dalam lamunan.

Bu, senang sekali rasanya bisa pegang banyak uang. Jutaan jumlahnya. Tapi sayang bukan milikku bu. Kadang aku juga tergiur untuk mengambil sedikit darinya saat uang saku menipis dan kerjaan organisasi sedang banyak-banyaknya.

Tapi nyatanya, aku lebih tertarik pahala yang dua daripada yang satu apalagi yang malah menimbukan dosa. Meski aku tahu, pahala dan dosa itu terserah kehendakNya. Tapi setidaknya aku hanya mengharap pamrih dari Nya. Bagaimana aku akan korupsi bu, pamrih saja tidak. Pahala dua dan satu itu juga sangat memotivasiku untuk menjadi orang yang ringan dalam berbuat kebaikan bagi sesama manusia. Mentalku sudah terbentuk bu dan sekarang aku sudah faham.

 

Penulis : Fadhlinaa ‘Afiifatul ‘Aarifah

Ilustrator : Ni’mal Maula