Bicara soal bulutangkis, rasa-rasanya Indonesia adalah salah satu pihak yang paling otoritatif kalau membicarakan. Segala hal dalam bidang bulutangkis sudah kita miliki. Gelar juara, semua sudah kita punya. Pemain-pemain bintang, juga kita punya. Kompetisi tingkat nasional kita punya. Klub-klub dan pembinaan juga tinggal pilih, semua ada. Maka tidak heran, jika bulutangkis menjadi olahraga yang sanat populer, dan selalu dimainkan oleh banyak orang.

Meskipun tidak sepopuler sepakbola, bulutangkis tetap saja menjadi olahraga yang jadi andalan masyarakat. Tidak hanya soal prestasi atletnya, tetapi untuk olahraga sehari-hari, bulutangkis kerap jadi pilihan. Apalagi ketika musim atlet berprestasi, bisa-bisa semua lapangan olahraga penuh dengan orang main bulutangkis. Orang-orang ini tiba-tiba saja ingin meniru para atlet dalam bermain bulutangkis, mulai dari penampilan sampai gaya bermain.

Salah satu gaya bermain atlet bulutangkis yang kerap diikuti oleh orang-orang adalah berteriak ketika memukul bola. Seperti kita pahami, nyaris dalam semua pertandingan bulutangkis selalu kita jumpai para atlet yang berteriak ketika memukul bola. Mau itu atlet putra atau atlet puri, sama saja, sama-sama suka berteriak dan sama lantangnya. Apalagi kalau sedang menggebuk (smash) bola, teriakannya bisa lantang dan menggema. Tidak hanya saat menggebuk, ketika bola dinyatakan masuk dan si pemain dapat poin, masih sering kita jumpai teriakan-teriakan itu. Pokoknya, si setiap momen ada teriakan, lah.

Carolina Marin, Pusarla Sindhu, Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon adalah empat dari sekian banyak nama yang selalu berteriak-teriak ketika sedang bertanding. Ketika masing-masing mereka bertanding, sudah pasti kita akan mendengar pekikan-pekikan lantang dari mulut mereka, yang bersahutan dengan bunyi kok yang beradu dengan senar raket. Pokoknya, menonton mereka bertanding kita tidak akan mati gaya, alias akan ada saja suara-suara teriakan yang jadi hiburan ketika pertandingan bulutangkis melarang adanya penonton.

Masuk akal juga apa yang mereka lakukan dengan teriakan ketika bermain bulutangkis. Apalagi kalau sedang menggebuk bola, maka teriakan yang mereka keluarkan juga akan menambah energi dalam memukul bola. Selain itu, teriakan juga berfungsi bagi para atlet untuk membuang rasa grogi saat bertanding. Sebaliknya, teriakan mereka juga punya fungsi untuk menggertak, dan membuat nyali pemain lawan ciut. Jangankan lawan, saya kalau sampai diteriaki atlet bulutangkis seperti itu, ya ciut juga nyali saya.

Kebiasaan inilah yang pada akhirnya ditiru oleh masyarakat awam ketika bermain bulutangkis, termasuk saya. Pada awalnya, saya menganggap teriak-teriak ketika bermain bulutangkis itu adalah kebiasaan yang lebay. “Cuma main bulutangkis gini saja kok pakai teriak-teriak segala,” begitu anggap saya. Selain berisik, kebiasaan ini kan juga cuma ikut-ikutan atlet yang kita tonton.

Hingga pada suatu ketika saya sedang bermain bulutangkis di dekat rumah, saya iseng mencoba untuk teriak-teriak. Awalnya agak canggung, mengingat saya pernah menganggap ini sebagai kebiasaan yang lebay. Tapi, setelah dua-tiga kali saya coba, berteriak ketika main bulutangkis itu enak sekali. Apalagi ketika melakukan smash, atau ketika mengetahui kita dapat poin, berteriak itu rasananya melegakan. Ada semacam beban yang ikut terlepas bersamaan ketika teriakan itu keluar.

Meskipun saya mainnya masih cupu alias jauh dari kata jago, kebiasaan berteriak para atlet ketika main bulutangkis ini akhirnya saya ikuti juga. Bagi saya, selain mainnya jadi lebih nyaman, permainan bulutangkis juga jadi tidak sepi-sepi banget. Saya akhirnya juga jadi sepenuhnya paham, mengapa para atlet itu suka sekali berteriak, bahkan sampai pada tahap menjadikan teriakan sebagai salah satu senjata mereka.

Kadang, sesuatu memang perlu dicoba terlebih dahulu sebelum dihakimi. Seperti halnya kasus di atas, pada awalnya saya sudah menghakimi kebiasaan berteriak saat main bulutangkis sebagai kebiasaan yang lebay. Tapi setelah saya coba, saya jadi suka, paham, dan ketagihan kebiasaan tersebut. Makanya, lain kali kalau mau menghakimi, setidaknya pernah mencoba dulu, lah.

Editor: Ciqa

Gambar: Bola.net