Dulu saya menulis tentang Buya (Ahmad Syafii Maarif, red.), saat ramai pembacokan seorang Romo di sebelah kampung Buya tinggal (yang juga kampung saya). Saya menulis karena banyak netizen yang menghujat Buya, menuduhnya: kalau agama lain dibela, agama sendiri dihina (atau semacam itulah komentar-komentarnya).

Saat itu saya jelaskan bahwa saat kejadian, Buya kebetulan berada di pasar, beberapa puluh meter dari Gereja tempat kejadian. So, simpel aja beliau datang ke lokasi. Tapi ya ramainya bukan main, tudingan, tuduhan, cacian dan lain-lain. Beberapa nama yang nyinyir pada Buya masih saya ingat.

Nah, ketika Buya juga mendatangi mushala yang dibakar orang di Bantul, meski lokasi sangat jauh dari rumah Buya, orang-orang itu pada mingkem. Sekadar apresiasipun enggak ada sama sekali.

Tak perlu tunjukkan secara vulgarpun kita tahu, mereka dari kelompok model beragama yang seperti apa, dan cara berpolitik yang seperti apa.

Kalau diingatkan, sangat mungkin mereka ini pura-pura tidak ingat. Misalnya, Buya nengok Abu Bakar Baasyir saat sakit di penjara, ngobrol dan mendoakan. Padahal kita tahu, dua tokoh ini berseberangan cara berpikir keagamaannya. Dan, Buya itu menjadi saksi ahli yang meringankan Abu Bakar Baasyir lho.

Nah, kali ini juga mirip. Buya mendoakan Syekh Ali Jaber, minta Polisi usut tuntas dan jangan sampai terulang, lalu memberikan wejangan bagaimana peradaban ini harus dibangun. Statement yang soft dan baik, sewajarnya seorang yang sepuh bagi bangsa ini.

Komen-komen netizen… masyaallah! Bikin pengen istighfar 1000 kali.

Sebetulnya komennya ya itu-itu aja sih. Plesetan nama, plesetan gelar, soal gaji BPIP (yang enggak pernah Buya ambil itu), soal Jokowi. Blass enggak ada kaitan sama isi statement Buya terkait Syekh Ali Jaber.

Buya, Amalmu Banyak, Dosamu Dicuri Orang

Saya jadi berpikir. Seorang Buya yang salat lima waktu di masjid, zikir/ qiraah tak henti, baca bukunya kenceng, kalau ngobrol diskusi selalu terselip ayat Qur’an dan seterusnya dan seterusnya, kok dibegitukan. Berarti dosa beliau dicuri orang-orang itu.

Sementara, pemberian-pemberiannya pada duafa, masjid, pesantren, mahasiswa tak mampu, dan siapapun, tak pernah dibicarakan orang. Tidak diketahui kecuali oleh segelintir orang. Mungkin Allah memang menjaga itu sebagai rahasia agar tidak menguap.

Penulis: dr. Ahmad Muttaqin Alim

Penyunting: Aunillah Ahmad