Fakta mengenai Facebook yang sering kita abaikan bahwa aplikasi jejaring yang dibuat oleh Mark Zuckerberg pada tahun 2004 silam, sejauh ini ternyata mengungguli yang lain, termasuk dalam hal jumlah pengguna.

Sebagai komparasi, data dari lembaga riset CupaNation yang rilis pada April 2019 menunjukan angka jomplang pengguna Facebook dan Instagram di Indonesia. 120 juta pengguna untuk Facebook sementara Instagram hanya 56 juta.

Meski demikian, masing-masing diantara kita punya preferensi untuk menggunakan yang mana, bisa saja keduanya tapi sangat jarang secara bersamaan. Karena bermain Facebook atau Instagram adalah soal selera, dan selera tak patut diperdebatkan. Tetapi jika ditanya secara pribadi, maka saya lebih memilih Facebook. Mengapa Facebook?

Mengapa Lebih Memilih Facebook?

Harus saya akui, media sosial dalam beberapa hal membantu urusan saya, terutama Facebook. Tak ada tulisan yang buruk, tiap tulisan akan menemui pembacanya. Pada mulanya, saya menulis di Facebook, memberanikan diri untuk diketahui khalayak. Pandangan dan pengalaman hidup, Facebook menyelesaikan problem malu sekaligus menimbulkan efek narcisius pada diri saya.

Secara rutin saya mengunggah gambar-gambar kegiatan semasa kuliah, membagi tulisan yang tayang di media daring, atau apapun yang saya suka. Dari situ secara tidak langsung, saya memberi kabar kepada mereka yang melihat unggahan tadi.

Begitulah, Facebook adalah sarana berinteraksi virtual, bergaul dari jauh untuk orang-orang di rantau, atau setelah sekian lama tidak pernah berjumpa kawan-kawan sekolah. Facebook menjadi ruang alternatif untuk menyapa: sekedar basa basi di dinding komentar, menanyai kabar, mengucapkan selamat hari raya, hari lahir, hari pernikahan dan sebagainya.

Saya mendapatkan banyak kabar di Facebook, lewat unggahan mereka saya bisa tahu, apa-apa saja yang terjadi dalam hidup mereka: pekerjaan, kisah asmara, atau apapun, termasuk soal kematian. Tapi pada umunya, Facebook adalah ruang unjuk kebahagiaan. Hal yang sama, yang juga sering saya lakukan.

Mereka yang saya maksud adalah sanak famili, keluarga jauh, teman, dan tetangga-tetangga di kampung. Maka sulit bagi saya untuk tidak membuka dan menggunakan Facebook. Sebab orang-orang di kampung halaman, sedikit dan jarang punya Instagram atau Twitter. Dengan kata lain jika saya meninggalkan Facebook sama saja memutus silaturahmi dengan mereka.

Mengenang Masa Jahiliah di Facebook

Saya pernah punya beberapa akun Facebook. Akun pertama, saya buat tahun 2013 dan masih aktif hingga sekarang. Dari mulai nama dengan kombinasi huruf kecil-besar yang random, sampai curhat unfaedah pernah terpampang di beranda Facebook. Soal nama, beberapa yang masih menempel di kepala. Saya pernah dengan gagah dan penuh perasaan bangga memakai nama-nama berikut: BaraAriesBarcelonista, BaraDharmaBaraBere, Bara Ozora, Bara Jr, dan sebagainya.

Dan saya baru sadar, betapa Facebook telah membuat pribadi pemalu dan sedikit introvert ini bergaul secara virtual dengan manusia lintas agama, ras, kelas sosial, bahkan negara. Dulu daftar teman di Facebook saya dipenuhi dengan nama-nama sejenis yang tak kalah norak, seperti misal: Wahyu Blaugrana, Cinta Cules Angel Barcelonista, Nobii DuaLapan, Nadeem Barca.

Itu baru nama, belum lagi soal riwayat pendidikan atau status pekerjaan. Yang paling standar tentu adalah Harvard University dan bekerja untuk PT. Pencari Cinta Sejati. Tapi semua tinggal cerita, pelan-pelan saya merapikan Facebook dan kabur dari trenalay.

Saya memulainya dengan menghapus pertemanan yang tak penting-penting amat. Jangankan penting sekedar kenalpun belum. Ringkasnya saya mulai memaafkan diri sendiri, hijrah dan “menginsyafi” perbuatan jahiliah dulu-dulu.

Dulu dan Kini

Usia barangkali membuat saya lebih matang, dan perjumpaan dengan dunia yang nyata sedikit banyak mengubah “kehidupan” maya saya di Facebook. Mulai dari pola interaksi, isi konten hingga pertemanan. Tentu saya masih menjaga pertemanan dengan kawan-kawan sekolah, orang-orang di kampung halaman. Tapi lingkar itu tidak lagi sempit. Kini saya berteman dengan banyak para pekerja media, jurnalis, penulis, editor, pengusaha, penerbit buku, seniman, pengacara, aktivis sosial, dan sebagainya.

Sebutlah nama-nama penulis buku beken seperti Sabda Armandio, Felix Nesi, Ben Sohib, Yosi Avianto Paraneom, Akhmad Khadafi, Muhidin M Dahlan, Fajar Kelana, Dinar Zul Akbar, dan banyak lagi.

Atau pengusaha, penerbit, seniman, aktivis, dan bakul buku legenda macam: Edi Mulyono, Buldanul Khuri, Alfi Limbak Malintang Sari, Saleh Abdullah, Fawaz Al Batawy, Eswe, Don K Marut, dan seterusnya.

Selain itu nama-nama besar yang saya idolakan, juga lebih aktif dan bisa dijumpai di Facebook. Saya bisa berinteraksi lebih bebas, nyaman, dan dekat dengan mereka lewat Facebook ketimbang media sosial lain. Seperti, Goenawan Mohammad, Puthut EA, Ulil Abshar Abdalla, AS Laksana, dan lain-lain.

Saya memilih Facebook, bukan semata karena aplikasi itu adalah “cinta pertama” saya. Lebih daripada itu, Facebook adalah saksi perjalanan awal, ia merekam aktivitas, menjadi jejak digital, dan bagi saya pada titik tertentu adalah sebagai guru yang arif.

Kembalilah Pada Facebook

Kamu yang sedang membaca “catatan pertobatan” ini, barangkali pernah atau mungkin masih menggunakan Facebook, jika rasanya sudah lama tidak pernah lagi kamu lihat, maka tengoklah barang sejenak. Facebook barangkali adalah “rumah lama”mu, media sosial pertama yang kamu pakai. Meski sekarang di tanganmu iPhone, Samsung, atau apalah, tidakkah kau ingat, dulu sekali, kau pernah mengunggah foto dengan pose dua jari close up, hasil jepretan hape Noxia X2?

Jika Facebookmu masih ada dan lengkap dengan ingatan password. Bukalah lagi akun Facebook mu itu, lihat-lihat lagi galeri dan segala yang pernah kau ceritakan disitu. Barangkali dengan itu waktu jadi mundur kebelakang dan sesuatu yang “memorable” datang, lalu kau terlempar pada seseuatu yang entah, entah lucu, entah norak, entah menjijikan, atau entahlah disebut apa.

Barangkali juga “catatan pertobatan” yang saya ceritakan di atas, bisa membantu dan memandumu, kira-kira hal apa saja yang harus dilakukan dan dibenahi saat kamu membuka Facebook.

Ingat. Kita semua akan berangkat ke alam lain, lambat ataupun segera, apa kamu rela suatu kelak membiarkan teman-teman Facebook mu, mengenang ketiadaan seseorang yang mereka kasihi dengan kalimat yang masih terpacak di beranda: “ l4gi gl4U NicH” atau “ H3LLO Sobat  Dum4yyyy Mey M4l4m”.

Mau seperti itu?

Penulis: Gigih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad