Ada beragam hal yang melandasi ungkapan cinta seseorang. Cinta karena hawa nafsu salah satunya.

Pada mulanya saya membaca buku Metode Menjemput Cinta yang dikarang oleh seorang sufi ternama yakni; Imam Al-Ghazali. Buku tersebut sangat membuka mata hati bagi para pembaca ihwal cinta.

Pemaknaan Cinta

Pada umumnya kaum muda zaman sekarang menjalankan cinta hanya sebatas dititik merasakan saja. Padahal Islam telah menjelaskan secara detail terkait pemaknaan cinta itu apa, bagaimana, sebab akibat nya dan masih banyak lagi.

Ada dua hal yang mendasari seseorang dikatakan mencintai sesuatu itu (baca: objek cinta). Pertama adalah keindahan dan yang kedua adalah kenikmatan. Seseorang mencintai sesuatu itu karena melihat sesuatu yang menimbulkan sifat indah (baca: karena indah adalah kata sifat).

Sedangkan sesuatu yang indah itu menimbulkan kenikmatan. Itulah cinta yang harus berada pada titik kenikmatan. Karena mau bagaimanapun juga, tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan dari cinta adalah untuk mencapai suatu kenikmatan.

Sebaliknya, kalau objek cinta itu sendiri menimbulkan kerugian, maka subjek akan enggan untuk mencintai objek cintanya. Jangankan mencintai, mendekatinya pun enggan.

Dengan demikan, dapat dikatakan bahwa seseorang mencintai sesuatu itu karena fisiknya bukan karena hatinya. Lantas bagaimana untuk menanggapi asumsi seperti itu?

Asumsi dibalas dengan ungkapan yang bersumber jelas yang tentunya menggunakan rujukan tepat. Kenapa harus demikian? Pasalnya cinta itu tidak dapat dijalani begitu saja tanpa ilmunya. Karena Eric From pernah mengatakan bahwa cinta itu seperti seni, harus dipelajari.

Seorang seniman tidak akan menjadi seniman yang ulung kalau sebelumnya tidak pernah mempelajari tentang seni. Begitupun cinta, harus dipelajari.

Rujukannya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwasannya Rasullah bersabda “Sesungguhnya Tuhan itu indah dan mencintai keindahan”. Karena indah itu adalah kata sifat, maka rujukannya akan berupa material.

Seperti bunga sakura di Jepang, selalu memancarkan keindahan layaknya sinar rembulan. Teori tersebut hanya berlaku untuk makhluk saja, karena pada dasarnya Tuhan itu tidak berbentuk apalagi dibentuk.

Cinta Karena Hawa Nafsu

Setiap hal yang menimbulkan kenikmatan meningkatkan kemungkinan untuk dicintai. Seperti kecantikan dan keelokan seseorang sudah pasti banyak yang mencintai.

Berbicara hawa nafsu, tentu ada kaitannya. Banyak dari kalangan agamis yang melarang keras ihwal cinta karena hawa nafsu nya. Sebab cinta karena hawa nafsu itu sifatnya sementara yang menimbulkan efek rasa ketidakpuasan dalam hati seseorang.

Analogi sederhananya adalah kita melihat bunga di pekarangan rumah, terlihat indah. Rasanya akan berbeda ketika melihat bunga di Taman yang jauh lebih besar bahkan jauh lebih indah. Hal itu yang dilarang oleh para kaum agamis ketika mempunyai rasa ketidakpuasan, hingga nantinya rasa ketidakpuasan itu akan merambat kepada rasa tidak bersyukur, mungkin larinya akan kufur.

Lantas apakah diperbolehkan mencintai karena hawa nafsu? Tergantung bagaimana metodologi yang kita ambil. Apakah sabda Rasul yang diambil? Ataukah asumsi para kaum agamis?

Editor : Hammam Izzuddin