Saat virus Corona menjadi berita utama di mana-mana, kita bisa melihat bahwa hampir semua media membicarakan tentang bahaya virus ini. Dari cara dari penularannya, dampaknya, pencegahannya, sampai jumlah korban yang sakit ataupun meninggal.

Lalu muncul masalah lain: Orang-orang yang merasa ketakutan dan stres karena banyaknya berita-berita ‘negatif’ yang memberitakan ngerinya virus ini.

Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang merasa tidak perlu takut dengan virus ini dengan berbagai macam alasan, seperti rendahnya persentase angka kematian dan gejalanya yang ringan, ataupun karena tuntutan pekerjaan dan berbagai macam alasan lainnya.

Lalu, siapa yang harus disalahkan? Apakah media dan orang-orang orang yang berusaha mengedukasi masyarakat tentang bahaya virus ini harus disalahkan?

Dilema pemberitaan

Beberapa orang bilang “tolong jangan sebarkan ketakutan pada masyarakat!” karena menurut mereka, berita-berita itu akan membuat masyarakat panik dan akhirnya menimbulkan berbagai macam kekacauan seperti panic buying serta stres berlebihan yang malah menurunkan imunitas tubuh mereka. Masyarakat juga dianggap akan menjadi sasaran empuk bagi virus ini dan berbagai macam penyakit lainnya.

Tetapi saat berita sudah mulai mereda, dan berita-berita tentang virus ini sudah mulai berkurang, apa yang terjadi?

Beberapa masyarakat merasa aman dan mengira bahwa virus ini sudah mereda, sehingga mereka bisa keluar rumah dan bertemu dengan banyak orang sesuka hati mereka. Yang sebenarnya, semua itu membuat cerita tentang virus ini semakin panjang dan semakin parah.

Kemarin juga banyak orang yang menyalahkan pemerintah karena telat bertindak, baik dengan alasan agar masyarakat tidak panik atau alasan lain. Tapi memang harus kita akui, banyak dari kita tidak waspada dan terlambat menyadari betapa berbahayanya virus ini.

Akan tetapi saat media dan pemerintah mulai gencar memberitakan dan membuat berbagai macam keputusan, mereka juga disalahkan karena dianggap menyebabkan stres dan kepanikan di masyarakat. Apalagi dengan adanya peraturan-peraturan yang dirasa semakin menyulitkan masyarakat.

Corona: Siapa yang salah?

Jadi, siapa yang salah? Apakah orang-orang yang berusaha mengingatkan masyarakat untuk menjaga kebersihan dan berhati-hati dari virus,  serta menjaga diri dari perkumpulan-perkumpulan untuk sementara demi mencegah penyebaran virus ini? Ataukah orang-orang yang meminta media untuk diam dan tidak menyebarkan berita-berita menakutkan akan tetapi malah tidak peduli dengan penyebaran virus ini dan masih bertindak sesuka hati mereka?

Tapi memang, menurut saya terkadang masyarakat harus ‘dipaksa’ demi memperbaiki keadaan. Dan terkadang. ‘ketakutan’ juga menjadi cara ampuh membuat masyarakat mendengarkan imbauan dari pemerintah.

Sebagai bukti, di awal pandemi ini menyebar, negara tetangga kita, Malaysia menerapkan Movement Control Order (MCO) secara ketat. Masyarakat dilarang keras keluar, berbagai aktivitas diberhentikan secara paksa. Awalnya memang sulit, dan banyak menuai protes dari mana-mana. Akan tetapi setelah beberapa bulan, Alhamdulillah hasilnya terlihat jelas. Saat tulisan ini dimuat, kasus sudah terbilang sangat sedikit, pertumbuhan kasus baru juga terbilang sedikit; hanya 5-20 orang per-hari.

Indonesia? Walaupun sempat menerapkan karantina, PSBB, atau apapun itu, kita bisa lihat bahwa pemerintah kita kurang tegas. Peraturan yang dikeluarkan juga terkesan ‘nanggung’. Masyarakat masih banyak yang beraktivitas seperti biasa, bahkan cenderung meremehkan. Akibatnya? Saat ini pertumbuhan kasus baru masih sangat tinggi, bisa mencapai 3,000 kasus baru per harinya. Mau sampai kapan seperti ini?

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap?

Alangkah baiknya bila kita berhenti saling menyalahkan satu sama lain. Cobalah memulai perbaikan dari diri sendiri. Walaupun peraturan dari pemerintah dirasa longgar, lebih baik kita fokus melakukan apa yang bisa kita lakukan demi kebaikan bersama. Menahan diri dan keluarga keluar rumah, membangun kebiasaan-kebiasaan baru, mencoba berbagai kegiatan produktif dari rumah, dan melakukan berbagai hal positif lainnya.

Atau untuk yang mempunyai usaha/ toko, cobalah membuat sistem baru yang bisa mengurangi penyebaran virus ini. Usaha-usaha mengurangi jumlah kursi di rumah makan, mewajibkan masker dan physycal distancing bagi seluruh karyawan dan pengunjung, atau dengan membuka layanan daring yang memudahkan para pelanggan bertransaksi dari rumah.

Daripada kita habiskan tenaga untuk mengeluh dan menyalahkan pemerintah, mari fokuskan diri untuk berkontribusi dan memudahkan orang lain, dimulai dengan hal-hal kecil di sekitar kita. Semoga dengan itu, kita bisa membantu memperbaiki negara dan masyarakat walau sedikit, sekaligus meraih kemudahan di hari akhirat nanti. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Barangsiapa yang memberikan kemudahan bagi orang yang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan memudahkan baginya kemudahan (urusan) di dunia dan akhirat.”

Mari kita doakan kebaikan negara kita tercinta, Indonesia.

Penulis: Ridho Ghifary

Penyunting: Aunillah Ahmad