Pagi ini se-jagad raya Indonesia dikejutkan dengan kabar duka meninggalnya Didi Kempot karena serangan jantung. Mungkin juga orang-orang keturunan Jawa di Suriname karena mereka juga menggemari penyanyi legendaris ini.

Penyanyi campursari yang sangat kondang ini telah menemani masa kecil saya di sebuah desa di Parakan, Temanggung. Lagu berjudul Stasiun Balapan sangat terngiang di kepala. Melempar ingatan pada perjalanan saya menuju Solo bersama Pakdhe dan berhenti di depan Stasiun Balapan, yang secara otomatis mengingatkan saya pada sosoknya.

Mungkin banyak yang baru mengenal Didi Kempot maupun lagu-lagu ambyar karyanya belakangan ini ketika ia muncul kembali ke publik. Tapi tidak dengan saya, yang sudah menggemari Didi Kempot semenjak usia saya masih playgroup. Hal yang membuat saya terpaut secara personal adalah karena nama Bapak saya mirip dengannya, Didik.

Saat masih kecil, jika ada yang bertanya siapa nama Bapak saya, spontan saya menjawab Didi Kempot dan secara otomatis membuat orang-orang yang bertanya jadi tertawa sendiri. Kenangan ini diingatkan lagi oleh Ibu saya pada bulan Agustus lalu ketika saya mengabarkan sedang menonton acara Seloso Selo di FIB UGM dimana Didi Kempot menjadi bintang utamanya.

“Lha nggih mbiyen idolane Bila sek kecil ..nek ajeng bobok sok ken nyetelke lagune. Nek ditakoni orang…putrane sinten sok muni Pak Didi Kempot.”

“Lha iya dulu idolanya Bila sewaktu kecil.. kalau mau tidur suka minta diputarkan lagunya. Kalau ditanya orang.. anaknya siapa suka bilang Pak Didi Kempot.”

Mungkin Didi Kempot belum begitu tenar pada tahun 90-an sampai 2000-an awal, tidak se-hits sekarang. Mengingat internet belum canggih dan mudah diakses seperti sekarang ini. Ketika tren musik ciptaannya muncul lagi, saya tetap menggemarinya meskipun jiwa saya sedang tidak benar-benar merasa ambyar, hehe. Ia berhasil mewakili perasaan sobat ambyar muda-mudi Indonesia terutama Jawa.

Ada cerita lain yang membuat saya merasa dekat –lagi-lagi dikisahkan oleh Ibu yang disambungkan dari mbah kakung saya. Ayah Didi Kempot dulunya adalah seniman Jawa dari Solo yang dikenal dengan Ranto Gudel. Beliau bertemu dengan mbah kakung saya di grup Wayang Wong Sriwedari karena beliau adalah seniman Jawa dan dalang yang cukup kondang pada masanya. Keduanya kerap berkolaborasi bersama dengan seniman-seniman Jawa lainnya.

Saya benar-benar merasa dekat dan sangat kehilangan atas meninggalnya Lord Didi. Sebuah perpisahan yang amat mengejutkan untuk kita semua. Di Temanggung sendiri, ia sudah dijadwalkan untuk tampil pada sebuah acara di bulan Desember mendatang. Tapi bagaimana lagi, kita tidak memiliki kuasa atas takdir mati dan hidup.

Terimakasih Lord Didi, telah mewarnai jagad musik campursari Indonesia yang memberi nafas baru dan terkenang mendalam bagi kita semua. Didi Kempot meninggal pada saat puncak karirnya, meninggalkan semua sobat ambyar dalam tahun 2020 yang ambyar ini. The Godfather of Broken Heart kini menjadi The Legend.

Sugeng tindak Pakdhe.

 

Didi Kempot bukanlah seorang penyanyi, salah besar! Dialah NYANYIAN ITU SENDIRI

(Agus Magelangan).

 

Temanggung, 5 Mei 2020