Saya mengakui, bahwa saya senang menangis dan nggak pernah gengsi melakukan itu. Bukan karena identitas yang melekat dalam diri saya sebagai seorang perempuan, tapi sebagai manusia yang dianugerahi perasaan dan air mata oleh Tuhan.

Saya kadang sering bertanya-tanya, bagaimana ya rasanya jadi laki-laki yang sedari kecil dilatih untuk tidak boleh menangis? Lantas bagaimana cara mereka mengekspresikan perasaan ketika sedih?

Saya bersyukur langit menurunkan the God Father of Broken Heart bernama Didi Kempot ke muka bumi.

Didi Kempot menjawab keresahan para lelaki yang putus cinta, ditikung teman, dan ditinggal nikah pas lagi sayang-sayangnya melalui musiknya. Tak jarang saya melihat gerombolan mas-mas yang pergi ke konser Didi Kempot, memasang badan di depan panggung pas, lantas menyanyi dengan penuh penghayatan sambil sesekali mengelap ingus yang keluar dengan kaus hitam metal kebanggaannya.

Sing tak sayang ilang, sing tak sayang ilang…!” (Yang kusayang hilang, yang kusayang hilang)

Gek opo salah awakku iki, nganti kowe tego mblenjani janji…!” (Apa salahku, sampai kamu tega mengingkari janji)

Gerombolan mas-mas ini lantas menyebut diri mereka sebagai “Sobat Ambyar” dengan panggilan beken “Sad Bois”. Didi Kempot telah mengajarkan para lelaki ini untuk tidak gengsi merayakan kesedihan dengan menangis. Kesedihan memang niscaya adanya dan tak apa-apa bersedih karena hal itu!

Lha memangnya darimana toh asalnya kok laki-laki dilarang menangis?

Maskulinitas menjadi nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya laki-laki bersikap: rasional, kuat, dominan, dan oleh karena itu ia harus mengabaikan perasaannya. Padahal perasaan tidaklah bergender. Siapa saja boleh berbahagia dan bersedih. Barker bahkan mengatakan bahwa laki-laki tidak dilahirkan begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami, maskulinitas dibentuk oleh kebudayaan.

“Lhoh ngapain Adek nangis? Ayo, anak laki-laki nggak boleh cengeng! Harus kuat!” begitulah pesan orang tua di masa kecil ketika anak laki-lakinya jatuh dari sepeda atau dinakali temannya. Bukan justru memvalidasi perasaan itu dan menenangkannya, malah mengabaikan dan merepresi perasaan sedih sang anak sekuat-kuatnya.

Jadilah kebiasaan untuk tidak mengekspresikan emosinya terbawa hingga remaja, dewasa, bahkan berumah tangga.

Konstruksi itulah yang akhirnya membentuk laki-laki untuk selalu berupaya tampil kuat dan rasional sehingga menimbulkan permasalahan yang disebut toxic masculinity. Maskulinitas ternyata juga bisa menjadi racun karena menganggap perasaan laki-laki tidak penting. Hal itulah yang kerap membuat laki-laki tidak sudi untuk terlihat sedih dan menangis, sebab ia akan dianggap lemah dan seperti perempuan jika bersikap demikian.

Alhamdulillah, mas-mas ini telah menemukan jalan yang benar sebelum kesedihannya menumpuk jadi depresi dengan tergabung dalam “Sobat Ambyar Club”. Klub yang menurut saya perlu memiliki kartu tanda anggota untuk membuktikan bahwa patah hati menjadi problem terbesar yang membuat masyarakat Indonesia sengsara, sekaligus yang akan mampu membuktikan bahwa baik laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk bersedih!

Didi Kempot telah menghancurkan stereotipe itu, bahkan menawarkan antidot ampuh untuk toxic masculinity tanpa malu-malu, misalnya melalui lirik lagu Pamer Bojo berikut,

Nangis batinku nggrantes uripku. Teles kebes netes eluh neng dadaku.” (Menangis batinku, merana hidupku. Basah kuyup menetes air mata di dadaku)

Betapa hebatnya Didi Kempot menarasikan kesedihan patah hati dengan sedemikian rupa. Suatu kesedihan yang terkadang sulit untuk diungkapkan melalui kata-kata telah berhasil beliau gubah menjadi syair yang merasuk hingga relung dada.

Dan kini, meskipun sang maestro telah pergi, saya berharap bahwa para ‘Sad Bois’ dan ‘Sad Girls’ Indonesia tidak lantas kembali menjadi gengsi untuk mengekspresikan perasaannya. Spirit lagu-lagu beliau masih dapat kita dengarkan dan rasakan; bahwa sejatinya, siapapun kita, boleh merayakan kesedihan dengan menangis dan bernyanyi.

Didi Kempot bukan hanya sosok yang mampu mendobrak stereotipe tradisional toxic masculinity, namun ia juga sosok yang realistis. Sebab ia tak hanya memfasilitasi manusia-manusia patah hati untuk merayakan kesedihan, namun ia juga kerap memberikan semangat bagi ‘Sobat Ambyar’ yang tengah dirundung kesedihan untuk tetap meneruskan hidup.

Sing uwis ya uwis.

Lara ati oleh, ning tetep kerja lho ya.

Sebab urip ora iso diragati nganggo tangismu!

(Yang sudah ya sudah,

Sakit hati boleh, tetapi tetap kerja.

Sebab hidup tidak bisa dibiayai oleh tangismu!)

 

Selamat jalan The God Father of Broken Heart, teruslah bernyanyi di hati kami semua.

 

Penulis: Laila Hanifah

(Sobat Ambyar, Sekretaris Umum Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta)