Hari raya Idulfitri atau lebaran tidak terlepas dari berbagai macam tradisi. Tradisi yang bersifat meluas atau hampir dilakukan oleh banyak orang adalah mudik. Mudik dilakukan oleh orang yang hidup di tanah perantauan, seperti Bekasi yang salah satu daerahnya memiliki julukan kawasan industri terbesar di Asia Tenggara, yaitu Cikarang. Tentunya banyak sekali warga pendatang yang mengadu nasib di Bekasi. Lalu bagaimana dengan masyarakat Bekasi asli apakah melakukan mudik juga? Tentu tidak. Masyarakat Bekasi asli atau Bekasi tulen adalah masyarakat suku Betawi yang juga memiliki banyak tradisi dalam menyambut hari raya Idulfitri.

Masyarakat Bekasi asli tidak melakukan mudik seperti para perantau, hanya saja di hari raya Idulfitri mereka melakukan tradisi saling mengunjungi sanak saudara yang lebih tua atau seseorang yang dihormati di daerah tersebut. Masyarakat Betawi menyebutnya dengan sebutan “nyaba”. Selain itu, dalam perayaan hari raya, masyarakat Bekasi memiliki tradisi dalam menghidangkan makanan. Mulai dari makanan berat hingga ringan. Tentunya tidak afdal jika tidak menghidangkan makanan-makanan yang lezat di hari lebaran. 

Selain hidangan berat, masyarakat Betawi khususnya Bekasi juga memiliki camilan khas yang wajib ada di hari raya Idulfitri, lho. Ya, Dodol Betawi. Camilan ini menjadi salah satu menu utama yang harus ada dalam hari-hari besar, khususnya Idulfitri. 

Sejarah

Dodol Betawi adalah makanan ringan yang memiliki ciri khas dari cita rasa dan proses pembuatannya. Warna coklat pekat dengan rasa manis dari perpaduan gula merah, gula putih, santan dan ketan membuat makanan ini memiliki rasa dan tekstur yang unik.

Bahan-bahan yang digunakan cukup mudah ditemui, hanya saja alat-alat yang digunakan untuk membuat dodol Betawi asli menggunakan alat-alat tradisional, seperti tungku, kuali besar, kayu bakar, dan spatula kayu besar (gelo). Proses pembuatan juga termasuk lama dan memakan banyak waktu dan tenaga.

Orang yang biasa membuat dodol Betawi adalah beberapa perempuan paruh baya atau lansia dengan dibantu oleh beberapa pria. Orang yang membuat dodol juga harus dalam keadaan suci, baik bagi pria ataupun perempuan. Perempuan yang sedang datang bulan tidak bisa ikut serta dalam proses pembuatan. Hal tersebut konon akan mempengaruhi cita rasa dari dodol tersebut. Resep dan tata cara membuat dodol Betawi merupakan warisan dari nenek moyang, maka dari itu, tidak semua orang bisa membuat dodol.

Dodol Betawi: Dulu dan kini

Pembuatan dodol Betawi pada awalnya dilakukan dengan cara urunan saat menjelang hari raya Idulfitri. Keluarga besar Betawi melakukan urunan untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan. Setelah bahan terkumpul, yang bertugas mengaduk adonan adalah para pria, sedangkan peremuan menyiapkan bahan-bahan. Setelah dodol matang sempurna, kemudian dodol dibagikan kepada setiap anggota keluarga sesuai dengan urunan yang dikeluarkan.

Masyarakat Betawi memaknai dodol Betawi sebagai makanan yang memiliki nilai sosial. Hal ini dapat dilihat dari porses pembuatannya yang memerlukan semangat gotong royong dan kebersamaan yang erat. Proses pembuatan dodol Betawi yang memakan waktu kurang lebih tujuh jam, membuat makanan ini memiliki makna ikatan persaudaraan.

Sampai saat ini, orang yang memproduksi dodol Betawi di Bekasi terbilang sangat sedikit. Hal ini mungkin terjadi karena tergeser oleh makanan-makanan modern dan juga proses pembuatan dodol yang memang tidak mudah serta membutuhkan keahlian agar dapat mencapai cita rasa yang khas.

Untuk saat ini, dodol Betawi tidak hanya dibuat untuk konsumsi sendiri. Orang-orang yang ahli dalam membuat dodol sudah mulai menjual produknya di pasar daring. Pemasaran dodol di pasar daring diharap dapat membantu kembalinya eksistensi dodol Betawi di dunia kuliner.

Proses pembuatan

Proses pembuatan dodol memakan waktu kurang lebih 7-12 jam sampai benar-benar jadi. Sebelum memasak dodol, yang harus dilakukan adalah menyiapkan bahan-bahan seperti, kelapa (yang akan dijadikan santan), beras ketan, gula pasir, dan gula merah. 

Tindakan yang pertama dilakukan adalah membuat santan dengan cara memarut kelapa. Beras ketan ditumbuk untuk dijadikan tepung –saat ini, tepung beras ketan sudah dapat dibeli di pasar–. Jika santan dan tepung sudah siap, kemudian campurkan semua bahan ke dalam kuali besar dan diaduk sampai adonan mengental.

Setelah adonan mengental, pengadukan digantikan dengan pria. Proses pengadukan inilah yang paling berat dan cukup lama. Maka dari itu, diperlukan tenaga yang lebih untuk mengaduk dodol tanpa henti selama 7-12 jam. Adonan harus diaduk tanpa berhenti agar adonan tidak gosong. Dalam proses pengadukan, yang sangat harus diperhatikan adalah tingkat kepanasan api. Kayu bakar harus dipastikan tidak mengeluarkan asap, karena asap yang dikeluarkan api akan diserap oleh adonan dodol dan membuat rasa dodol tidak enak.

Dodol Betawi sebagai Bingkisan Hari Raya

Dalam masyarakat Betawi Bekasi, kegiatan yang dilakukan setelah salat Id adalah nyaba (mengunjungi) sanak saudara yang berdekatan. Bagi keluarga betawi yang lebih muda, bisanya datang atau mengunjungi keluarga yang lebih tua atau dihormati, seperti ncing (adik dari ayah atau ibu), ncang (kakak dari ayah atau ibu), uwa/nyai/nyak dan baba/engkong (kakek dan nenek).

Selain memberikan salam tempel, biasanya keluarga Betawi menyiapkan bingkisan makanan. Makanan yang hamper selalu ada dalam bingkisan adalah Dodol Betawi. Tidak ada sejarah khusus mengenai ini, hanya saja Dodol Betawi dijadikan sebagai identitas suku Betawi. 

Bagi saya, hal ini menandakan masyarakat Betawi sampai saat ini masih menganggap dodol sebagai simbol persaudaraan. Pemberian Dodol Betawi sebagai bingkisan hari raya diharapkan dapat mempererat ikatan persaudaraan.

***

Dodol Betawi harus tetap dilestarikan agar tidak tergerus dan terhimpit dengan makanan-makanan kekinian. Generasi muda berperan penting dalam pelestarian makanan tradisonal dan produk-produk tradisional lainnya agar identias suatu bangsa tetap lestari.

Penulis: Mutiara Citra Abdullah

Penyunting: Aunillah Ahmad