“Aeeehhh…! Terasa cepat sekali ini waktu.” Keluh teman saya saat melihat jam dinding menunjukkan waktu sore, setelah ia berbaring di atas kasur sejak siang tadi sambil scrolling media sosialnya.

Keluhan setelah berselancar di media sosial seperti ini tidak terasa asing di telinga saya. Sering malah. Ketika melakukan aktivitas memasuki hutan rimba eksistensi dalam aplikasi seperti Instagram, YouTube, Facebook, Twitter dan lainnya, kita akan setuju dengan pernyataan waktu terasa cepat berlalu.

Apalagi di tengah pandemi seperti ini, segala aktivitas sebagai mahasiswa ataupun pelajar, semua berubah menjadi daring, membuat realitas aktivitas kita sehari-hari tidak bisa jauh dari layar gawai. Seakan melegitimasi kenyamanan kita, meski sedang rebahan di atas kasur.

Tamasya di Dunia Simulakra

Dari fenomena di atas, bisa dibilang kita telah dibawa ke dalam realitas baru. Sebuah realitas seperti dikatakan Jean Baudrillard, dunia simulakra. Dunia yang menurut pandangannya sebuah duplikasi, yang isinya merupakan sebuah realitas tiruan yang tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya atau bisa dikatakan tidak ada, sehingga membuat perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur.

Realitas baru ini tidak lagi menggunakan prinsip fisika maupun metafisika, melainkan menggunakan prinsip yang disebutnya patafisika. Prinsip yang tidak terbentuk berdasarkan fondasi hukum fisika mengenai ruang waktu maupun metafisika, akan tetapi melampaui keduanya. Kondisi di dalamnya tidak lagi dibatasi oleh batas-batas ruang dan waktu seperti yang ada di dalam dunia fisik.

Patafisika

Patafisika digambarkan dengan meleburnya waktu (masa lalu, masa kini, masa depan) dan meleburnya ruang (berbagai ruang sosial dan kebudayaan), meleburnya tempat, meleburnya tanda-tanda (berbagai sistem tanda dan semiotika) kedalam sebuah kumpulan ilusi imaji atau citra. Di dalamnya, semua saling berinteraksi dan berbaur ke dalam realitas virtual atau media.

Semakin kesini, citra itu kini telah membiak bahkan menjamur lewat model pengoperasian citra ke dalam simulasi virtual, yang kita kenal media sosial. Di dalamnya representasi rangkaian peristiwa dan informasi terus membombardir perhatian manusia dengan memberikan banyak kemudahan, hiburan, keterpesonaan dan kesenangan semu lewat penampakan dan segala yang menakjubkan di dalam layar yang di tonton manusia itu, sampai bisa membuat kita lupa waktu.

Hingga tidak kita sadari, segala kesemuan kenikmatan semua itu terjadi dengan durasi waktu yang sempit. Kemudian semakin menyempit pula ruang bagi kegiatan berpikir, berfilsafat, merenung, menggunakan akal sehat kita. Baudrillard menyebutnya fantasmagoria, yakni sebuah kondisi yang di dalamnya manusia gagal mengendalikan waktu dalam pengertian eksistensial dan hanyut di dalam kekuasaannya itu.

Manusia terperangkap di dalam durasi (kejutan, peristiwa, tontonan, informasi) yang semakin cepat dan tidak mampu keluar dari tekanannya. Meminjam perkataan Heidegger, di dalamnya manusia menyibukkan diri di dalam mesin kecepatan dunia, takluk terhadap tempo dan durasi kehidupan yang dikonstruksinya, tanpa mengerti makna eksistensial dari semua yang dilakukan.

Kita yang Tak Lagi Kuasa Mengendalikan Diri

Karena itu, keadaan ini merupakan gambaran pada diri kita yang tidak benar-benar bisa mengendalikan diri sendiri. Dimana di zaman teknologi semakin canggih, tidak selamanya subjek menguasai objek, tapi sebaliknya, objek pun bisa mengendalikan subjek. Kita digiring oleh kenikmatan objek yang tidak ada batasnya dan citra menjadi model eksistensinya.

Kemudian yang menjadi pertanyaan dari keadaan seperti ini, khususnya pertanyaan teleologis. Hendak dibawa kemana umat manusia lewat wahana realitas baru tersebut? Apakah penjelajahan yang disediakan dapat memperkaya pengetahuan manusia, atau malah memusnahkannya? Apakah dunia ini membawa manusia pada kemajuan atau kehancuran?

Tentu jawaban ini menjadi refleksi bagi kita masing-masing. Ketika kita tidak bisa mengendalikan diri kita di tengah arus ledakan informasi beserta kecepatannya, bersiaplah hanya menjadi korban dari hilangnya kita yang otentik, isi kepala yang dangkal, nurani spiritual yang menipis, hingga hilangnya orientasi kemanusiaan kita untuk menjadi manusia.

Penulis: Irawan

Penyunting: Aunillah Ahmad