Dalam kurun beberapa tahun terakhir fenomena panic buying memang seringkali terdengar dalam khalayak umum. Khususnya bagi masyarakat Indonesia mungkin kini sudah tidak terlalu asing. Mengingat banyaknya tagline di media-media yang memberitakan tentang kebiasaan panic buying. Baik yang terjadi di Indonesia maupun yang terjadi di luar negeri. Bahkan, hal ini di Indonesia juga sempat terjadi kembali. Yakni perihal kelangkaan minyak goreng dan juga saat pemerintah akan mewacanakan penaikan harga BBM. Sehingga mendorong masyarakat untuk membeli BBM sebelum harga baru diterapkan.

Namun, tahukah kamu mengenai makna dari panic buying itu sendiri ? Dilansir dari student-activity.binus.ac.id, panic buying adalah peristiwa atau aktivitas dalam membeli barang secara berlebihan. Dikarenakan adanya rasa khawatir akan sesuatu hal buruk yang akan terjadi. Lazimnya seseorang melakukan panic buying akan menyimpan barang-barang yang awet cukup lama. Meskipun tidak jarang pula barang-barang yang tidak memiliki masa simpan yang panjang juga menjadi sasaran dari panic buying.

Lazimnya panic buying terjadi ketika akan adanya sebuah konflik atau peperangan. Maupun terjadinya wabah penyakit seperti ketika pandemic covid-19 yang merebak di dunia dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Ketika itu banyak sekali masyarakat dunia yang memborong bahan makanan dan keperluan sehari-hari dalam jumlah banyak. Dikarenakan kebijakan sebagian pemerintah dunia dalam menanggulangi pandemi tersebut. Hal ini juga sempat terjadi di Indonesia yang juga mengalami panic buying ketika Pandemi covid-19 mulai merebak di Indonesia.

Pemenuhan Kebutuhan atau Sekadar Ikut-ikut ?

Jika berkaca dari kasus panic buying yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Mungkin akan berpendapat kalau pembelian barang secara berlebihan itu merupakan kebutuhan masyarakat untuk konsumsi pribadi. Namun, dalam beberapa kasus juga terjadi dikarenaka dorongan dari alam bawah sadar khususnya rasa takut tidak dapat memenuhi kebutuhan. Hal ini cukup lazim, dikarenakan di era modern ini manusia memang memiliki kebutuhan yang beragam. Apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut akan menimbulkan rasa panik atau khawatir.

Namun, yang jadi permasalahan ketika masyarakat melakukan panic buying tersebut hanya sekedar ikut-ikutan. Mereka melakukan tersebut tidak berdasar atas kebutuhan primer maupun sekunder. Ambil contoh ketika pandemi covid-19 yang merebak dalam 2 tahun belakang. Banyak masyarakat yang membeli berbagai barang mulai dari kebutuhan sehari-hari seperti bahan makanan, maupun kebutuhan medis seperti masker, vitamin maupun hand sanitizer.

Semuanya Dibeli

Mungkin jika kasus bahan makanan adalah untuk kebutuhan sehari-hari adalah hal yang lumrah. Akan tetapi kebutuhan lain semacam hand sanitizer bagi sebagian orang yang dulunya bukan kebutuhan primer atau sekunder tiba-tiba turut membeli juga dalam jumlah banyak. Hal ini dikarenakan juga peran media yang turut memberitakan tentang fenomena panic buying. Bahkan, untuk barang-barang yang dianggap tidak terlalu urgent bagi masyarakat. Sehingga timbul dorongan untuk membeli juga. Bisa pula hal ini juga berdasar dari ajakan orang sekitar dalam membeli barang-barang tersebut dengan embel-embel akan segera habis atau sebelum stok kosong.

Hal semacam inilah yang justu bisa menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Jika benda-benda memang berguna bagi kita mungkin tidak akan jadi masalah. Namun, jika dirasa pemakaiannya kurang berguna atau bahkan tidak digunakan sama sekali. Ataupun bahkan setelah kita menjualnya kembali dengan harga separuhnya atau jauh lebih murah dari harga beli. Tentu itu akan menjadikannya problem dalam efek ekonomi kita sendiri.

Contoh kasusnya yakni dalam pembelian masker yang dulu ketika masa-masa awal pandemi. Masker mendadak sangat langka, karena banyak yang memborong, hingga membuat harga melambung. Namun, kini benda yang tidak dipergunakan tersebut, atau bahkan masih tersegel dijual dengan harga lebih murah dari harga belinya dulu.

Dimanfaatkan Beberapa Oknum

Peristiwa panic buying ini tentunya selalu atau kerap kali dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, dengan memainkan harga barang yang sedang dicari di atas harga sewajarnya. Hal ini karena mereka melihat adanya peluang ekonomi di balik kebutuhan masyarakat yang mendesak pada masa panic buying tersebut. Umumnya mereka akan memborong benda yang sedang ramai diburu masyarakat. Bahkan, hingga stock habis dan akan dijual kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga sewajarnya.

Hal tersebut tentu banyak merugikan orang terhadap permainan segelintir oknum tersebut. Barang yang seharusnya dijual dengan harga sekian justru dijual dengan harga tinggi.

Editor : Faiz

Gambar : Google