Sejak muncul gerakan yang menamakan diri dengan ‘NU Garis Lurus’ atau NU GL, muncul juga lawan tanding yang menamakan diri ‘NU Garis Lucu’. NU Garis Lurus ini pertama kali muncul setelah Muktamar Nahdlatul ‘Ulama (NU) 2015 di Jombang yang menetapkan K.H. Ma’ruf Amin (Rais Syuriah) dan K.H. Said Aqil Siradj (Ketua Tanfidzyiah).

Kelompok NU Garis Lurus ini diketuai oleh Ustadz Idrus Ramli dari Jember. Baginya, PBNU saat ini jalannya bengkok, maka perlu diluruskan. Oleh sebab itulah ia bersama kawannya membentuk PBNU tandingan lengkap dengan lembaga dan badan otonomnya. Struktur pengurusnya bisa dilihat di laman NU Garis Lurus.

Saya pernah menghadiri acara yang pembicara tunggalnya ustadz Idrus Ramli di aula Pimpinan Wilayah NU (PWNU) NTB masa Ir. H. Mahfud, MM menjadi ketua PWNU. Acara itu dinamai ‘Strategi Melawan Dakwah Salafi Wahabi’. Di situ diterangkan berbagai cara, hujjah, dalil, kitab dan bantahan terhadap klaim-klaim Wahabi. Dia tahu di Lombok banyak pengikut salafi-wahabi.

Dalam berbagai ceramahnya, ustadz Idrus ini banyak membahas perbedaan NU masa K.H. Hasyim Asy’ari dengan masa saat ini. Membantah ajaran-ajaran orang salafi wahabi, syi’ah, liberalisme bahkan wacana Islam Nusantara yang diusung oleh Kiai Said juga ditolak oleh dia. Hal ini bisa dilihat di video-videonya di YouTube.

Kemunculan NU Garis Lurus vs Garis Lucu

Melihat munculnya gerakan NU Garis Lurus ini, muncul tandingan dari anak-anak muda NU khususnya di dunia media sosial yang menamai diri NU Garis Lucu. Membaca unggahan, humor dan meme-nya, anda bisa senyum-senyum, kocak dan kadang satire. Unggahan cerdas dan menghibur.

Selain melakukan konter-narasi melalui humor dan meme lucu nan satir, mereka juga aktif melakukan perlawanan narasi kepada kelompok ormas radikal dan politis yang sering merisak tokoh-tokoh NU. PBNU sendiri sepertinya tak pusing dengan kehadiran PBNU tandingan yang menamai diri dengan NU Garis Lurus dan NU Garis Lucu ini.

Uniknya, penggagas NU Garis Lurus dan orang Salafi Wahabi sama-sama mengusung ‘ideologi garis lurus’ untuk meluruskan pemahaman yang mereka sebut bengkok. NU GL menganggap PBNU tidak lurus, orang Salafi menganggap banyak ajaran NU yang bengkok. NU GL ini pun tidak sepaham dengan ideologi pemurnian yang diusung oleh Salafi Wahabi.

Belakangan, muncul juga akun Muhammadiyah Garis Lucu (MGL). Saya tidak tahu, apakah mereka melihat orang-orang Muhammadiyah terlalu serius dan kurang selera humor, atau hanya ikut-ikutan tren NU GL – NU GL itu. Atau juga bentuk perlawanan halus menggunakan humor atau respon anak muda d idalam keluarga persyarikatan itu terhadap iklim organisasinya.

Bukankah dulu ketika ramai Jaringan Islam Liberal (JIL) yang digawangi sebagian anak-anak muda NU, muncul juga Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang juga mendapatkan ‘perlawanan’ dari tokoh-tokoh tua Muhammadiyah? Belakangan, di Lombok Salman Al Farizi pernah menggagas Jaringan Intelektual Muda Nahdlatul Wathan (JIMNW). Saya tidak tahu apakah JIMNW ini sempat mendapatkan ‘perhatian’ dari tokoh-tokoh NW.

Humor di Sela-sela

Untuk melenturkan otot-otot pikiran yang serius, diperlukan humor-humor segar untuk melemaskan ketegangan. Apalagi sudah menyangkut antar kelompok ormas Islam yang berbeda secara fikrah, amaliah dan harakah. Sesama fikrah dan amaliah saja bisa beda harakah, apa lagi beda fikrah dan amaliah.

Ada yang merasa sudah lurus, paling lurus atau perlu meluruskan orang lain yang dianggap bengkok. Kalau ngotot dengan pendapat sendiri, kan hidup tidak ada yang lucu. Humor pun bisa dituduh sebagai pencemaran nama baik, bahkan bisa dikenai dengan pasal penistaan agama. Kalau begini, runyam hidup. Hidup semakin tidak lucu. Bukankah dunia ini panggung tempat menciptakan kelucu-lucuan?

Jangan-jangan fenomena anak-anak muda yang gandrung dengan stand up comedi di TV swasta dan kanal-kanal youtube adalah bagian dari respon mereka terhadap kehidupan kekinian yang samakin sumpek dan gersang dengan kehadiran banyaknya orang-orang serius. Mereka lalu menarasikan perlawanannya dengan humor dan lawakan–khususnya yang terjadi pada masyarakat perkotaan.

Humor tidak mengenal kebenaran tunggal. Subjek dan objek setara. Yang membedakan kualitas humornya dan tingkat kelucuannya serta konteks keluarnya humor itu. Dan tentu saja, kesiapan mental dan pikiran bila dijadikan objek humor.

Subjek yang membuat atau menyampaikan humor dan objek yang menjadi bahan humor sama-sama bisa tertawa. Kalau objek tersinggung atau marah karena dijadikan objek (sasaran), humor mestinya dilawan juga dengan humor.

Humor itu ‘palu’ pemecah kebuntuan, keseriusan dan kejumudan. Humor bisa jadi platform untuk menciptakan suasana hidup riang gembira. Pikiran luas dan hati yang lapang. Siapa manusia yang tidak ingin seperti itu.

Pilihannya, mau pakai platform itu atau pilih yang lain–sebagaimana humor yang punya banyak genre, platform untuk menikmati hidup pun banyak pilihannya. Kembali kepada pilihan dan kebutuhan masing-masing: Garis lurus, atau garis lucu?

Penulis: Yusuf Tantowi

Penyunting: Aunillah Ahmad