Gender tidak membedakan manusia atas laki-laki dan perempuan berdasarkan pada apa yang melekat pada diri mereka yang merupakan kodrat ilahi yang dibawa sejak lahir dan bukan melekat pada aspek biologis mereka. Namun, gender lebih menekankan pada aspek perbedaan laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan kultural masyarakat. Gender terikat budaya, ruang dan waktu, yang dapat berubah suatu saat.

Sedangkan sex (jenis kelamin biologis) akan terus tetap dan tidak berubah. Perspektif gender selama ini masih lekat dengan pengaruh ideologi patriarki nya yang mengutamakan laki-laki dari pada perempuan. Akibatnya banyak norma sosial yang patriarkis. Hal ini juga dikarenakan oleh adanya kesalahpahaman masyarakat atas diferensi antara seks dan gender.

Melihat dan menilainya dari kacamata manusia

Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki keterikatan budaya dan agama yang menjadi normatif tingkah laku mereka. Acap kali tingkah laku manusia dipengaruhi norma sosial yang masih melekat dengan aspek kultural dan agama, terlebih masyarakat pedesaan. Di pedesaan, banyak norma-norma sosial yang mengatur tingkah laku laki-laki dan perempuan, dan perempuan terkesan lebih banyak diatur oleh norma sosial. Misalnya seperti dalam berpakaian, antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan kontras.

Dalam agama Islam telah mengatur tentang cara berpakaian antara laki-laki dan perempuan. Kita mengenal apa yang disebut sebagai aurat, selain itu pakaian juga berfungsi sebagai aspek keindahan. Para ulama berselisih paham mengenai batasan aurat, terutama perempuan. Namun, pendapat yang paling banyak dirujuk mengenai aurat perempuan ialah seluruh badannya kecuali muka dan telapak tangan. Malah ada juga yang mengatakan bahwa suara perempuan itu juga merupakan aurat. Sementara aurat laki-laki hanya sebatas antara pusar sampai lutut. Terkesan lebih sedikit bukan?

Memang seperti itulah agama Islam mengatur tentang berpakaian umatnya. Kemudian hal ini juga menyebar menjadi suatu norma sosial dalam masyarakat. Sering kita temui di tengah percakapan masyarakat nada-nada ketidakadilan gender terkait cara berpakaian manusia yang sudah terdoktrin menjadi norma sosial. Seperti mereka yang mendapati perempuan yang berpakaian tidak menutup aurat hal ini akan memunculkan stigma-stigma negatif yang tidak berdasar. Ini menyebabkan adanya stereotipe kepada perempuan sebagai perempuan tak baik-baik hanya karena tidak menutup auratnya.

Berbeda hal dengan laki-laki yang tidak menutup aurat, misalnya mereka yang memakai celana pendek di atas lutut. Justru tidak begitu mendapat respon yang besar dari masyarakat. Seolah-olah dibiarkan saja. Seolah-olah telah terjadi normalisasi atas cara berpakaian mereka yang membuka aurat. Kenapa tidak terjadi stereotipe juga?

Lalu apa itu aurat bagi laki-laki?

Hal tersebut seolah-olah menunjukkan sikap yang membolehkan laki-laki untuk berpakaian demikian dan perempuan tidak boleh. Apakah ini suatu sikap yang adil? Saya rasa tidak. Bukankah Islam adalah agama yang memberlakukan keadilan bagi perempuan dan laki-laki? Bukankah Islam adalah agama yang membawa semangat emansipasi bagi perempuan yang meletakkan relasi yang setara di hadapan Tuhan? Hal ini pun saya kemukakan karena mereka sering membawa dalil-dalil agama dalam menilai pakaian.

Namun, saya tidak mau terlalu jauh membawa dalil-dalil agama dalam tulisan ini. Saya lebih tertarik pada masalah ketidakadilan yang diciptakan. Stigma, labeling, ataupun stereotipe semacam ini kepada perempuan sering diberi oleh laki-laki. Padahal mereka juga sering membuka aurat mereka sendiri. Mereka tidak sadar bahwa mereka telah menormalisasikan pakaian yang tidak menutup aurat. Mereka merasa biasa saja, sementara bila melihat perempuan yang membuka aurat mereka berlagak sok menjadi hakim.

Banyak orang yang bilang bahwa sering terjadi pelecehan terhadap perempuan dikarenakan pakaiannya. Mereka berkata dengan nada yang menyalahkan “ya salah mereka kenapa berpakaian terbuka, tidak menutup aurat”. Kira-kira demikian lontaran kalimat yang keluar dari mulut mereka menanggapi berbagai kasus pelecehan. Padahal berdasarkan survey yang dihimpun oleh Koalisi Ruang Publik Aman (2018) menyatakan bahwa pakaian terbuka tidak menjadi sebab terjadinya pelecehan. Malahan 17% persen kasus penyintas mengenakan pakaian yang tertutup.

Tidak hanya itu,  nyatanya laki-laki juga kerap menjadi penyintas pelecehan. Berdasarkan data dari Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang dirilis oleh Indonesian Judicial Research Society (IJRS) dan INFID (2020) terdapat laki-laki sebanyak 33% yang menjadi korban kekerasan seksual khususnya pelecehan. Hal ini tentu kembali mematahkan narasi bahwa pakaian terbuka yang membuka aurat menjadi alasan orang-orang kerap mendapat pelecehan seksual.

Saya tidak bermaksud untuk membiarkan ataupun mendukung orang-orang untuk berpakaian membuka aurat. Hanya saja saya pengin menyampaikan keresahan hati melihat ketidakadilan yang dikonstruksikan terhadap perempuan yang membuka aurat. Padahal mereka yang mengonstruksi narasi-narasi aneh itu juga membuka aurat. Sehingga ada narasi yang seolah-olah membolehkan laki-laki dan melarang perempuan. Padahal laki-laki maupun perempuan diharapkan untuk tidak membuka aurat. Dan bukankah pakaian terbaik merupakan pakaian taqwa?

Saya pun tidak mewakili sebagai ahli agama menuliskan ini. Hanya menyuarakan suara ketidakadilan, meskipun banyak orang yang tidak menyadari.

Editor: Nawa

Gambar: google.com