Sebagai seorang mahasiswa, khususnya yang duduk di bangku S1, kita tentunya memiliki berbagai macam kesibukan. Sibuk diskusi, sibuk membaca, sibuk berorganisasi, sibuk bertemu dosen, hingga sibuk konsultasi judul skripsi. Dari berbagai kesibukan itu, ada satu kesibukan lagi yang juga tidak kira-kira dalam menguras tenaga, yaitu memikirkan masa depan. Apakah setelah kuliah, memilih untuk kuliah lagi, kerja atau langsung nikah?

Di umur kita yang beranjak dewasa, kita juga disibukkan oleh prospek masa depan. Atau bahkan bisa dikatakan, kita berada dalam fase quarter life crisis. Walau kadang kebanyakan orang memiliki prinsip hidup yang berbeda-beda. Ada yang berprinsip, hidup ini yang penting mengalir dan dinikmati. Namun, bagi seorang yang visioner, hidup ini juga tentang masa depan yang sarat akan rencana.

Artinya ada banyak planning ke depan. Termasuk merencanakan apakah selesai kuliah ingin kuliah lagi, kerja atau langsung nikah. Ketiganya berbeda, tetapi memiliki satu benang merah yang sama, yakni perihal masa depan.

Mampu Dulu, Baru Nikah

Bagi kebanyakan mahasiswa, nikah adalah pilihan yang utama setelah lulus sarjana. Terkhusus untuk para binti Hawa. Karena umur yang ideal untuk menikah bagi mereka, yaitu pascasarjana. Sesungguhnya, pilihan untuk menikah pascasarjana itu tidak ada yang salah. Akan tetapi, hal ihwal tentang pernikahan itu tidaklah sederhana. Banyak hal-hal yang memang harus dipertimbangkan secara matang.

Banyak persiapan yang memang harus disiapkan sebelum memutuskan untuk menikah. Apalagi menikah muda. Nikah bukan hanya soal kuat kemauannya, tetapi juga kuat secara mental (pikiran dan hati). By the way, kuat dompetnya termasuk nggak ya? Tentu, kuat secara finansial, khususnya bagi para bani Adam. Karena seorang suami harus menafkahi istrinya lahir dan batin.

Apalagi di era zaman now, banyak sekali narasi-narasi nikah muda yang digaungkan oleh para pemuka agama. “Nikah aja dulu, rezeki ditanggung Tuhan. Rezeki Tuhan meliputi semua ciptaan-Nya, termasuk binatang melata.” Tidak jarang, sobat milenial menjadikan itu sebagai pegangan yang taken for granted.

Apakah yang demikian salah? Tidak juga, hanya saja ada beberapa dampak yang tidak diinginkan bisa terjadi. Misalnya, bercerai lantaran secara mental dan finansial belum cukup kuat. Hal itu disebabkan oleh pemahaman yang kurang menyeluruh dan mendalam terhadap narasi “nikah muda.”

Nikah Bukan tentang Imajinasi dan Ekspektasi

Akibat dari narasi nikah muda yang tidak dipahami secara mendalam dan menyeluruh. Kebanyakan dari sobat milenial tenggelam dalam imajinasi yang utopis atau ekspektasi yang tidak berdasar tentang pernikahan. Padahal, menikah bukan hanya soal imajinasi dan ekspektasi. 

Kata Nabi, menikah itu harus disegerakan bagi yang mampu. Saya ulangi, bagi yang mampu, apabila tidak mampu maka hendaklah baginya berpuasa, karena puasa itu yang akan menjaganya.

Mampu di sini meliputi: mampu secara mental (pikiran dan hati) dan finansial seperti yang telah diuraikan di atas. Karena, tujuan pernikahan adalah membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (ar-Rum: 21). Maka, salah satu cara menggapainya dengan memenuhi kriteria mampu.

Kuliah Aja

Sesungguhnya kerja, kuliah ataupun nikah adalah pilihan masing-masing orang. Khususnya terkait mana yang didahulukan. Walaupun, menurut saya tiga hal itu bisa berjalan secara kompatibel (berbarengan). Akan tetapi, yang terpenting dari ketiganya adalah kesiapan dan keyakinan. Menikah dan kerja butuh kesiapan mental dan finansial, begitu juga dengan kuliah. Apabila nikah dan kerja belum cukup kesiapan, maka jalan terbaik adalah kuliah aja.

Kuliah itu penting, bukan hanya sekadar untuk mengikuti kurikulum atau mata kuliah yang ada. Akan tetapi, kuliah itu bertujuan untuk mematangkan pola pikir, menguatkan mental dan mengajarkan kesabaran dalam prosesnya. Proses itulah yang pada akhirnya akan berdampak pada masa depan kita terkait pernikahan dan pekerjaan. Bisa jadi, ketika Tuhan belum memberi kemampuan kepada kita untuk menikah. Dia ingin agar kita kuliah aja.

Salamku untuk Rana, partner terbaik.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Kompasiana.com