Jika membicarakan novel Kehilangan Mestika, banyak yang berujar bahwa tema besar dalam novel ini adalah tentang kisah cinta dan juga kehilangan. Sedangkan, isu terkait pendidikan di dalam novel ini dianggap hanya sebagai tema sampingan.
Berbeda dengan pandangan tersebut, saya beranggapan bahwa isu pendidikan yang diangkat dalam novel ini justru merupakan tema utama yang diusung oleh Hamidah. Adapun kisah terkait kehilangan dan percintaan itulah yang merupakan bumbu atau tema sampingan. 

Hal ini saya sadari tatkala dosen saya berkata bahwa pada setiap karya sastra, hampir semuanya mengangkat soal hubungan percintaan. Karena kisah tentang percintaan merupakan bumbu yang sangat pas untuk menunjang karya sastra yang tidak lain adalah sarana penyaluran isu/ideologi.
Maka saya simpulkan bahwa, dalam novel Kehilangan Mestika, tema utama yang diangkat oleh Hamidah adalah isu terkait pendidikan (terutama bagi kaum perempuan pada masa itu, tahun 1930-an).

“Jika tidak ada ruang bagi saya belajar, maka saya buat ruang itu sendiri.” sebuah hasrat untuk memajukan pendidikan yang menggelora milik Hamidah, tokoh utama dalam novel Kehilangan Mestika.
Selain tokoh utama, Hamidah juga merupakan penulis novel Kehilangan Mestika itu sendiri. Yang artinya, melalui novel ini, Fatimah Hasan Delais—nama asli dari Hamidah—secara eksplisit mengisahkan kejadian demi kejadian nyata dalam hidupnya.

Melalui ungkapan pada paragraf sebelumnya, kita semua dapat melihat bahwa sosok Hamidah di dalam novel ini digambarkan memiliki tekad yang sangat besar untuk memajukan dunia pendidikan, khususnya bagi dirinya sendiri, kaum perempuan.
Hal ini membuat saya seperti melihat sosok Kartini dari dalam diri Hamidah. Bukan hanya pada pendidikan, dalam novel ini diceritakan bahwa Hamidah juga mengajak kaum perempuan untuk mengikuti sebuah perkumpulan yang ia buat.
Di dalam perkumpulan tersebut, Hamidah berupaya untuk memberdayakan perempuan dengan cara memberikan pembelajaran berupa membaca dan menulis utamanya, serta pelajaran-pelajaran terkait kehidupan dan urusan rumah tangga.

Dari pembelajaran yang diberikan oleh Hamidah, terlihat bahwa selain upaya mencerdaskan, Hamidah pun sadar bahwasanya hak-hak perempuan pun perlu disamaratakan.
Karena pada masa itu, sangat sedikit yang menyadari pentingnya dunia pendidikan bagi seorang perempuan. Atau bahkan, baca tulis bagi seorang perempuan masih dianggap tabu. Keahlian yang diperlukan oleh perempuan hanyalah bagaimana caranya tunduk dan patuh pada suami—nantinya—dan lihai mengurus urusan rumah, dapur, dan anak.
Maka dari itu, ia mengambil aksi, menghidupi kaum perempuan dimulai dari lingkungan yang terkecil, desa di daerahnya.

Sebuah tekad dan aksi yang sangat pantas untuk dipuji berasal dari pemikiran dan kegelisahan yang dialami oleh Hamidah. Dan saya rasa, pemikiran dan Aksi yang dilakukan ini sangat merepresentasikan sosok Kartini di dalamnya.
Ya, meski keduanya tidak dapat disamakan, karena perjuangan yang dilakukan oleh Kartini dan juga Hamidah tentu memiliki perbedaan dan hambatannya masing-masing.

Namun, lebih jauh lagi bisa kita lihat berbagai perjuangan untuk menghidupkan pendidikan dan perempuan dari yang telah dilakukan oleh ia dan juga Kartini, setidaknya kita—khususnya kaum perempuan—bisa melanjutkan perjuangan-perjuangan yang telah dimulai sejak dulu. Perjuangan yang dimulai dari dalam kepala, digubah menjadi aksi-aksi yang benar-benar ada.

Editor: Ciqa

Gambar: google.com