Beberapa waktu yang lewat, saya sempat membuka bisnis kecil-kecilan. Total hampir dua tahun saya menekuni bisnis camilan dan menjual baju. Selama berproses dalam bisnis tersebut, ada satu hal yang saya sadari, yaitu tentang “Harga teman” yang terdengar selalu menyebalkan. Barang tentu, saya mengalami hal tersebut beberapa kali selama berbisnis.

Efek Laten “Harga Teman”

Mohon maaf sebelumnya, teman-teman. Saya tidak ingin menjadi orang yang pelit, tetapi percayalah, “Harga teman” ini terdengar mengganggu khususnya bagi saya sebagai seseorang yang sedang merintis usaha atau bisnis dan masih dalam skala mikro. Mungkin juga pelaku usaha lainnya. Bukannya apa, modal, biaya produksi, dan lain sebagainya, kan ada perhitungannya masing-masing.

Sesekali boleh saja meminta “Harga teman”. Akan tetapi, yang menentukan harga akhir adalah si penjual, bukannya kalian sebagai pembeli. Kalau sudah diberi “Harga teman”, tetapi masih mengeluh, “Masih mahal banget harganya. Aku tahu tuh biaya produksinya. Kurangin lagi, lah”.

Lah, gimana, sih. Kalau memang sudah tahu biaya produksinya berapa, baiknya ya paham dengan harga yang diberikan teman. Lagi pula setahu saya, teman yang baik itu bukannya mereka yang mendukung bisnis temannya dan tidak menawar harga, ya?

Karena saya meyakini, harga dan kualitas akan berjalan beriringan, serta juga menyesuaikan dengan biaya produksi. Jikalau pun dijual kemahalan atau sengaja dimahalin, buat apa kalau tanpa kualitas? Yang ada malahan kalah saing dan bisnis jadi kurang berkembang.

Hal lain yang mengkhawatirkan dan bisa dikategorikan sebagai efek laten dari “Harga teman” jika kebiasaan ini terus-menerus dilakukan, yaitu secara tidak sadar akan menurunkan pendapatan si produsen. Satu permintaan “harga teman” saja bisa mengurangi pemasukan, apalagi kalau “Harga teman” ini dilakukan oleh banyak orang. Ckckck.

Biasanya, “Harga teman” selalu diperhalus dengan beberapa pertanyaan atau pernyataan seperti berikut:

“Kasih diskon, dooong. Ada diskon nggak buat cari penglaris?”

“Bisa kali dikasih harga teman…”

“Boleh kali cobain barangnya terus dapet gratisannya.”

Kalimat yang terakhir, mau bagaimana pun, memang bikin mangkel dan pengin misuh.

Penyalahgunaan “Harga Teman

Entah kenapa, “Harga teman” hampir selalu disalahgunakan di beberapa bidang usaha. Tidak terbatas hanya pada usaha kuliner ataupun jualan barang dagang, tetapi juga sudah merambat ke bidang jasa. Pembuatan design grafis, jasa pembuatan web, dan lain sebagainya. Beberapa bidang tersebut sering kali jadi korban “Harga teman” dengan penyampaian lebih bikin kesal setengah mampus.

“Yaelah, gitu doang hasil pembuatan web-nya, mahal bener”.

“Yelah, gambar gitu aja harganya bisa segitu mahal. Nggak bisa dikorting lagi?”

Sebentar, Bang Jago. Kok ya nggak bisa banget gitu menyaring penyampaian.

Gini, Bang. Ketika seseorang punya kemampuan dalam suatu bidang, apalagi dia sampai berani membuat jasa, itu artinya dia cukup yakin dengan karya maupun kemampuannya tersebut bukan kaleng-kaleng. Selain itu, pastinya sudah melalui proses pembelajaran yang tidak mudah. Kalau sampeyan merasa “Gitu aja kok mahal”, kenapa nggak coba buat aja sendiri, hayooo? Cobalah agar bisa lebih menghargai karya, kemampuan, dan usaha milik orang lain, Bang.

Bisa saja, sih, saya akali dengan menaikan harga barangnya terlebih dahulu ketika ditagih “Harga teman”. Beberapa kali hal ini cukup efektif. Akan tetapi, beberapa kali juga malah dibilang, “Halah, mahal banget”.

Rasanya seperti menjadi Iron Man, ikan hiu makan tomat, apa pun itu, anjimmm banget.

Kapan Untungnya?

Di antara banyaknya permintaan “harga teman” yang saya terima, saya bersyukur masih memiliki teman yang bisa menghargai saya dalam proses merintis usaha. Teman saya rela membayar penuh ketika ia membeli camilan dan baju yang saya jual, meski saya sudah memberi diskon.

“Aku nggak mau dikasih diskon, maunya bayar sesuai harga aja. Ini kan barang daganganmu, sudah selayaknya aku menghargai usahamu dalam berjualan. Aku percaya, ada harga pasti ada kualitas.”

Sumpah. Saya terharu mendengar hal tersebut.

Bagi saya, sebenar-benarnya menghargai teman yang sedang merintis usaha, haruslah demikian. Tanpa embel-embel diskon, gratisan, apalagi “Harga teman”. Boleh jadi, sebagian dari kita memang senang saat diberi sesuatu yang gratisan. Tidak bisa dimungkiri, hal tersebut seakan sudah menjadi budaya, mendarah daging, di mana pun. Tapi, tidak dengan cara meminta-minta kepada teman. Selain kasihan dengan usaha teman, kasihan juga sama diri kalian masing-masing. Terkesan mengemis dan agak nganu gimana gitu.

Mungkin bagi sebagian orang “Harga teman” itu sederhana dan terkesan sepele. Namun ketahuilah, bagi para pegiat wirausaha hal tersebut terbilang cukup menyebalkan dan punya efek laten yang tidak disadari oleh konsumen. Kapan mau untungnya kalau dimintai “Harga teman” terus. Hadeeeh.