Fenomena banyaknya pernikahan di usia dini sepertinya menjadi bahan pembicaraan paling menuai  kontroversi saat ini. Public figure anak muda islami melakukannya, yang kemudian didukung oleh banyak kaum muda yang mengidolakan mereka.

Yang paling lucu dari fenomena nikah muda adalah ketika akhirnya istilah ‘hijrah’ dalam Islam yang seharusnya dimaknai luas sebagai orang yang sedang dalam proses atau perjalanan menuju lebih baik dalam menyempurnakan islamnya, saat ini justru kerap diidentitaskan dengan menikah muda. Lho, kok gitu?

Coba, deh, cek akun-akun hijrah yang seringkali muncul di Instagram. Meski tidak semua begitu, akun-akun yang seringkali menjadi sorotan dan diikuti oleh anak-anak muda adalah akun-akun yang justru hanya membicarakan pernikahan muda sebagai bentuk ‘hijrah’ mereka. Tagarnya pun mengarah pada hal yang semacam itu.

Mereka membicarakan betapa indahnya pernikahan muda, membuat quotes bagaimana galaunya belum menemukan jodoh, dan bahkan mendorong ta’aruf islami dengan berbagai cara supaya jodoh cepat jatuh ke tangannya.

Gerakan semacam inilah yang kemudian menuai sorotan dari berbagai pihak, juga membuat stigma negatif terhadap gerakan hijrah dalam Islam dimana hijrah hanya diorientasikan pada pernikahan di usia muda saja, yang akhirnya lekat dengan anggapan sekedar untuk memenuhi kebutuhan nafsiyah saja.

 

Dua Sisi Pernikahan di Usia Muda

Ada sebuah hadist yang kerap disebut sebagai dasar dalil bagi orang-orang yang ingin sekali menikah di usia muda. Dari Anas bin Malik, Rasulullah pernah bersabda: “Jika seseorang telah menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.

“Ingin menyempurnakan separuh agama”, begitu kata mereka. Hadits di atas sahih sanadnya, akan tetapi apakah menyempurnakan agama melalui pernikahan memang harus di usia yang sedini mungkin? Masih ingat bagaimana bunyi hukum pernikahan?

Hukum pernikahan bisa menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh, bahkan haram, meski katanya menyempurnakan separuh agama. Lah kenapa gitu? Pernikahan menjadi wajib hanya bagi orang yang sudah MAMPU untuk melangsungkan pernikahan, terdesak nafsu, dan tidak dapat menahan diri dari perbuatan zina. Bisa menjadi sunnah, mubah, makruh, bahkan haram kalau nggak memenuhi kriteria tersebut.

Syarat “mampu melangsungkan pernikahan” sering dilewatkan begitu saja, seolah mampu memang syaratnya hanya punya uang cukup untuk mahar dan keinginan untuk menikah. Tidak semudah itu, ferguso. Kriteria “mampu” punya sub-cabang yang membuat hukum menikah menjadi wajib dan sunnah. Mampu secara mental, siap secara batin, kuat secara aqidah, cukup secara harta benda dan pendidikan.

Lalu bagaimana dengan orang yang sudah terdesak nafsu dan tidak dapat menahan diri dari perbuatan zina namun belum tergolong mampu untuk melangsungkan pernikahan? Bukankah sebuah ironi, jika menahan diri dari perbuatan zina saja tidak bisa, namun menjunjung tinggi hijrah dan ingin menikah dengan  keinginan untuk menyempurnakan separuh agama?

Dari seluruh dalil keutamaan menikah yang ada, semoga kita tidak melupakan sabda Nabi Muhammad yang satu ini:

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, sebab puasa dapat menekan syahwatnya.”

 

Berpuasalah, bersabarlah, tundukkan pandangan. Menikah nggak menjadi satu-satunya solusi menjauhkan dari zina jika sejak awal kita bisa menjaga pandangan dan perasaan, juga nafsu. Menikah muda nggak salah jika keduanya siap dan mampu menghadapi segala resiko yang tentu akan bermunculan di bahtera rumah tangga nantinya.

 

Penulis: Halimah

Ilustrator: Ni’mal Maula