Bagi anak rantau, kesempatan pulang kampung tidak mungkin di sia-siakan, walau hanya sekedar melepas rindu pada kampung halaman. Apalagi menjelang lebaran, masyarakat kita disibukan dengan kegiatan mudik. Bahkan telah menjadi agenda nasional, mulai dari penyediaan infrastruktur guna kemudahan mobilitas seperti jalan raya hingga sarana transportasi. Tidak lupa pula aparat yang siap sedia hingga lupa bahwa dirinya juga butuh bertemu dengan keluarga. Inilah tradisi wajib tiap tahun bagi warga negara kita.

Sayangnya hari-hari ini sering kita jumpai imbauan untuk menunda pulang kampung. Pemerintah bahkan sempat mengeluarkan kebijakan larangan mudik, menyusul wabah Corona yang sudah melanda Indonesia selama hampir tiga bulan. Bukan apa-apa, anjuran ini memang penting untuk diperhatikan dan ditaati guna memotong rantai penyebaran virus. Imbasnya, nuansa khas yang selalu hadir tiap lebaran nyaris tidak ada. Mulai dari tradisi halal bi halal hingga berkumpul bersama sanak famili yang terpaksa hanya sebatas video call atau bahkan percakapan via media sosial.

Meskipun dalam agama hal tersebut bukanlah esensi dari idulfitri itu sendiri, namun tradisi diatas adalah budaya yang telah mendarah daging khususnya bagi masyarakat indonesia. Itulah mengapa lebaran kali ini terasa berbeda dengan lebaran tahun-tahun belakangan. Tapi tak apa, setidaknya semua ini akan menjadi cerita sekaligus kenangan di masa mendatang.

 

Bersilaturahmi sebagai wujud eksistensi

Ada cerita menarik acapkali saya berkunjung ke sanak famili, baik dekat maupun jauh. Karena saya juga merupakan seorang anak rantau yang jarang sekali bertemu dengan saudara di kampung, maka momen silaturahim ini sangat dimanfaatkan untuk ngetok (Jawa: hadir, muncul) di tengah-tengah keluarga. Sebagai orang desa, adagium mangan ora mangan seng penting kumpul masih sangat kental melekat di benak masyarakat sekitar rumah.

Bisa jadi, tidak hadirnya seseorang dianggap sebagai tanda kesombongan. Terlebih ketika perantau dari kota tidak lagi membaur dengan masyarakat lokal, maka muncul stigma bahwa lingkungan rantaunya telah membuat dirinya lupa dengan orang-orang di kampungnya. Maka silaturahim bagi masyarakat desa bukanlah sesuatu yang remeh. Sehingga menampakan diri saja sudah dapat menyenangkan saudara dan tetangga.

Namun keadaan yang tidak menentu seperti sekarang ini membuat momen semacam ini harus ditunda.

 

Momentum untuk mereguk lautan hikmah

Selain itu, bertamu ke keluarga juga bisa dijadikan momentum untuk mendapatkan wejangan sekaligus motivasi dari masyarakat. Sebagai seorang pembelajar, hal ini penting menjadi perhatian. Bisa jadi mereka hanya orang kampung biasa, yang pendidikannya tidak setinggi orang kota. Tetapi justru lingkungan desa-lah yang menjadi guru sekaligus wahana untuk mendidik individu. Budaya-budaya lokal seperti semangat gotong-royong, kebersamaan serta kekeluargaan menjadi identitas khas bagi masyarakat desa. Hal ini yang bisa jadi mulai luntur di tengah hiruk pikuk kehidupan metropolis di kota.

Saya yang merantau untuk menuntut ilmu seakan mendapatkan asupan seimbang dengan bersilaturahmi kepada warga dan saudara sekitar rumah. Kota mungkin menyediakan pendidikan yang lebih memadai. Tapi untuk urusan pendidikan attitude, bagi saya hidup di desa adalah jalan terbaik untuk memanusiakan manusia. Menggali hikmah dari desa adalah dengan membaur dan belajar dengan orang-orangnya.

Pada satu kesempatan, ruang tamu bisa menjadi ruang kuliah tentang moral dan budi pekerti. Bagaimana tidak, kita bisa melakukan studi kasus dengan objek satu individu yang dirasa memiliki tingkah laku kurang terpuji. Evaluasi bahkan bisa sampai pada tindakan yang amat sederhana, seperti menjamu tamu yang kurang beretika. Bagi sebagian orang, ini adalah gunjingan dan tindakan tidak terpuji dalam agama. Namun bagi saya, pembicaraan ini menjadi pembelajaran yang mesti dipetik hikmahnya. Jangan sampai kita terjatuh ke dalam perbuatan yang sama.

Bayangkan jika pembicaraan dari satu rumah ke rumah yang lain memiliki topik yang beragam, berapa materi yang bisa kita dapatkan hanya dengan obrolan ringan dari masyarakat sekitar. Meski terkesan pragmatis, namun benar-benar memberikan inspirasi bagi mereka yang menyadari betul pentingnya hidup bermasyarakat yang baik. Apalagi bagi mereka yang jarang pulang kampung dan merasa telah ‘ter-kota-kan’, merajut tali silaturahim bisa menjadi alternatif untuk belajar kembali menjadi manusia desa.

 

Suasana Idulfitri yang dirindukan

Sayangnya, pandemi merubah semuanya. Kegiatan kerumunan dan interaksi antar individu terpaksa dibatasi, mengingat transmisi penularannya melalui saluran tersebut. Terpaksa kegiatan silaturahim harus di tunda terlebih dahulu untuk tahun ini. Suasana lebaran yang seharusnya diisi dengan kemeriahan dan kegembiraan mau tidak mau harus di tiadakan.

Walaupun demikian, ini semua adalah demi kebaikan bersama. Teringat ucapan kepala desa ketika melakukan sosialisasi protokol lebaran ketika pandemi, beliau berujar “kebijaksanaanmu melindungku, kebijaksanaanku melindungimu.” Ini menunjukan bahwa masyarakat mestilah mafhum dan maklum. Ketika pintu tidak di buka bukan berarti enggan, namun demi kebaikan bersama. Ketika tangan tidak menjabat bukanlah tanda congkak bahkan angkuh, inilah tanda sayangku kepadamu.

***

Semoga segala cobaan ini bisa segera diangkat oleh Allah ‘Azza wa Jalla sehingga kesempatan lebaran dapat diambil hikmah serta ibrah seperti sedia kala, amin.

Penulis: Muhammad Ghossan Nazhif DE

Penyunting: Aunillah Ahmad