Suatu siang di tahun 1991 dalam diri saya timbul semangat melanjutkan studi S2. Istilahnya, saya ingin jadi genteng kaca. Sambil menemani Mae memasak di dapur, saya sampaikan niat itu.

Mae langsung menjawab:

“Sudahlah. Di kampung ini kamu satu-satunya sarjana. Kamu sudah sekolah sangat tinggi. Kamu sebaiknya bekerja jadi guru.”

Sejenak saya terdiam. Tetapi saya tidak menyerah.

Ingin Jadi Genteng Kaca

“Betul Mak. Jadi sarjana bagi orang kampung itu hebat. Alhamdulillah. Jadi guru itu sangat mulia. Tapi saya ingin lebih dari itu.”

“Pingin jadi apa kamu?” Jawab Mae dengan nada agak tinggi.

Dengan tenang saya jawab.
“Saya ingin jadi gurunya guru. Jadi dosen.”

“Apa itu?” Tanya Mae polos.

“Dosen itu orang yang mengajar di Kampus. Mengajar calon guru.”

“Caranya bagaimana?”

“Saya mau kuliah lagi. Soal biaya Mae tidak usah mikir. Saya akan usaha supaya dapat beasiswa.”

“Ya terserah kamu.”
Mae mulai mengalah.

Merasa mendapatkan angin dan restu, saya lanjutkan alasan saya.

“Di dapur ini ada banyak genteng. Tapi ada satu genteng yang menerangi seluruh ruangan. Genteng kaca. Saya ingin jadi genteng kaca.”

Mae setuju. Saya berhasil meyakinkan Mae.

Alhamdulillah, berkat restu Mae dan bantuan banyak sekali orang, saya berhasil mewujudkan cita-cita. Menjadi genteng kaca. Bahkan mungkin lebih dari itu.

1992 saya diterima pembibitan calon dosen IAIN. 1993 saya jadi PNS di IAIN Walisongo. 1995 saya kuliah S2 di Flinders University of South Australia. Sampai sekarang saya tetap jadi dosen.

Terima kasih Mae. Kumohon selalu doamu agar genteng kaca itu tidak pecah.

Editor: Nabhan
Gambar: Muhammadiyah.or.id