Dalam kegiatan saya yang penuh kemalasan, rekat dengan rebahan, scroll instagram sambil menunggu detik-detik bunda ratu marah, saya menemukan sebuah postingan yang menarik. Postingan tersebut terdapat pada akun @test_psikologi, yang berisi beberapa quotes. Kira-kira tulisannya begini, “Orang pintar bisa belajar dari mana saja dan dengan siapa saja,” “Orang biasa, memilih belajar dari pengalaman” dan terakhir, “Orang bodoh nggak perlu belajar dari mana-mana, karena mereka sudah mengetahui semua jawaban”.

Membaca kalimat tersebut membuat saya kemudian sedikit memiringkan kepala, berpikir sejenak sebelum mengiyakan. Benar juga, ya. Orang bodoh selalu menganggap bahwa kebenaran adalah sesuatu yang mereka anggap benar. Mereka merasa pengetahuan mereka sudah cukup, bahkan terlampau banyak. Oleh karena itulah mereka enggan mendengarkan argumen orang lain terutama yang tak sepaham dengan mereka.

Orang Bodoh Selalu Merasa Ia Paling Benar

Hal ini selaras dengan perkataan Imam Syafi’i yakni, “Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Namun, ketika berdebat dengan orang bodoh, aku selalu kalah tanpa daya.”

Eits, teman-teman jangan salah paham dulu. Orang bodoh yang dimaksud Imam Syafi’i tersebut bukan orang yang mengalahkan Imam Syafi’i dalam debat, melainkan justru orang yang merasa cukup dengan pengetahuannya sehingga ia tak bisa didebat.

Sama halnya dengan orang yang merasa dirinya (paling) baik. Orang seperti ini enggan untuk melakukan perbaikan diri, bahkan cenderung justru memandang buruk orang lain. Ia mengkritik habis orang yang berbuat salah, tapi ia tak pernah menyadari kesalahannya sendiri. Oleh karena itu, kutipan yang saya baca ada benarnya. Orang bodoh tentu nggak perlu lagi belajar karena merasa sudah jadi yang paling pintar.

Apabila ada orang yang membenarkan dirinya, orang yang dibenarkan tersebut malah akan marah. “Emangnya kamu siapa? Berani-beraninya benerin saya!”, begitu kurang lebih. Susah banget kan menghadapi orang seperti itu?

Tapi tunggu dulu! Jangan-jangan kita juga termasuk orang dengan tipikal demikian? Entah itu disadari maupun tidak, mungkin kita sering menyalahkan orang lain, menganggap orang lain lebih buruk daripada kita, Hati-hati ya kalau kamu pernah melakukannya. Ini salah satu tanda bahwa kita bukan orang baik, lho!

Menjadi Pribadi yang Tidak Merasa Paling Baik

Oleh karena itulah kita perlu merenungi diri kita sendiri, terutama terhadap hal-hal buruk yang kita lakukan. Karena dengan begitu kita akan merasa bahwa kebaikan yang kita lakukan terlalu sedikit, sehingga kita sadar perlu adanya perbaikan terhadap diri kita. Apabila perenungan telah dilakukan, hal yang selanjutnya mesti dilakukan adalah mewujudkannya. Melakukan perbaikan diri secara nyata, bukan hanya menyimpannya dalam kepala. Ini yang sering kali sangat sulit dilakukan.

Perbaikan diri (dalam bentuk aksi) biasanya sulit dilakukan karena kita cenderung menunda-nunda. Contoh, saat kita hendak bersedekah, tak jarang muncul pikiran, “Ah…besok aja lah nunggu punya uang”. Dan saat ada uang, setelah dikalkulasi dengan revisi berkali-kali ternyata uangnya pas untuk memenuhi kebutuhan. Akhirnya, “Sedekahnya nunggu punya uang lagi aja lah”.

Meski hal tersebut sudah lebih baik daripada tak memiliki kemauan memperbaiki diri sama sekali. Ini akan terus terulang sehingga membuat diri kita tak ke mana-mana, diam di tempat, stagnan. Akhirnya perbaikan diri sebatas menjadi rencana tanpa realisasi.

Oleh karena itulah, mari menjadi pribadi yang tak merasa paling baik! Sadari kekurangan, berhenti menyalahkan orang yang tak bersalah, renungkan, lalu lakukan perbaikan. Setiap manusia memang punya kesalahan, tapi jangan sengaja melakukan kesalahan lalu berdalih dengan pernyataan tadi. Ini namanya pembenaran, sama halnya dengan merasa diri paling baik.

Semoga kita tidak menjadi manusia bodoh yang merasa cukup dengan kebaikan yang telah dilakukan sehingga enggan untuk melakukannya lagi. Ingat, kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam (melakukan) kebaikan. Jadi jangan pernah puas dengan kebaikan yang telah lalu!