Perdebatan perihal IPK tinggi dan rendah itu penting atau nggak selalu terjadi. Misalnya, baru-baru ini lini masa sempat ramai dengan oknum yang bangga dengan IPK kecilnya, namun bisa bekerja di beberapa tempat sedangkan temannya yang mendapat IPK lebih tinggi justru masih menjadi pengangguran. Hal ini tentu memicu pro-kontra yang beragam. Ada yang serius, pun banyak yang menjadikannya guyonan. Ada yang mengamini, akan tetapi tak sedikit juga yang menentangnya. 

Menurut hemat saya, tak sepantasnya mahasiswa ataupun orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi menilai sesuatu hanya dari satu sudut pandang. Seperti contoh di atas tadi yang mengasumsikan bahwa kita tidak perlu bangga dengan IPK besar jika tidak lekas mendapat kerja. Tolok ukur keberhasilan individu kan tidak cuma dari IPK. Hidup itu saling berkesinambungan. Ada hukum kausalitas atau sebab akibat yang memunculkan keadaan lain. Bukan cuma IPK yang menentukan nasib karir seseorang.

Sistem pendidikan kita yang sejak dulu (dan syukurnya sekarang sudah tidak lagi) mengandalkan peringkat, membuat siswa berlomba-lomba mengejar angka. Mati-matian belajar dan mengikuti les berbagai mata pelajaran untuk mendapat nilai bagus hingga namanya bisa nangkring di peringkat teratas. Mungkin ini sebabnya beberapa orang masih menilai IPK luar biasa pentingnya dan menjadi sangat bangga pula jika individu dengan IPK rendah mendapat jalan karir yang lebih baik dibanding peraih IPK tinggi. 

Tidak apa bangga, tapi tak elok rasanya jika membanggakan diri sendiri disertai merendahkan pihak lain. Saya kasih tau ya, IPK itu penting tapi tidak begitu penting juga. Masih banyak hal yang lebih penting lagi. 

IPK Penting Tapi Nggak Penting

Jika kita bicara pentingnya IPK, tentu tidak ada alasan lain sebab disana tertera keseriusan kita dalam belajar. Saya tidak menggeneralisasikan mahasiswa dengan IPK rendah artinya minim usaha belajar, lha wong dosen yang pelit nilai itu nyata adanya. Maksudnya, lebih penting dari itu, dengan IPK yang (minimal) sesuai dengan standar kelulusan, kita bisa mempercepat laju kuliah mencapai gerbong wisuda. Dampaknya tentu saja kebanggaan tersendiri untuk orang tua dan keluarga. Hemat waktu dan biaya pula, pastinya. 

Sekarang realistis saja, melamar pekerjaan juga butuh modal IPK. Beberapa perusahan memberikan batasan minimal IPK sebagai syarat seleksi administratifnya. Lah, masih mau menganggap IPK tidak penting dari mana hayo?

Akan tetapi, jika kita mau berpikir agak luas sedikit saja, kita bisa melihat fakta dan menyadari bahwa IPK ternyata tidak sepenting itu. Kita tidak bisa menyepelekan IPK, tapi kita juga harus mengasah hal lain untuk menyeimbangkan IPK. 

Dalam dunia kerja, misalnya. HRD tentu lebih memilih kandidat dengan IPK tinggi dengan banyak skill dibanding kandidat yang cuma bermodalkan IPK saja. Soal orang dalam, itu lain hal ya. Yang pasti pada akhirnya skill yang terlihat akan menjadi nilai plus bagi diri kita. Sebaliknya, IPK summa cumlaude pun tidak ada artinya jika hanya angka belaka.

Alih-alih cuma sibuk mengejar IPK saat menjadi mahasiswa, mending bagi fokus ke hal lain juga. Jam kuliah kan fleksibel, kita bisa mengambil jeda itu untuk melakukan hal-hal penting lainnya sebagai bekal hidup selanjutnya (re: penyeimbang IPK). Gabung organisasi, join komunitas yang sesuai passion, bekerja part time, atau mengambil job freelance yang bisa jadi menambah relasi juga pengalaman. Dibanding memperdebatkan besar kecilnya IPK dan mulus atau apesnya di dunia kerja, mending melakukan kegiatan bermanfaat lainnya untuk sesama. Seperti bagi tips bisa lolos perusahaan besar dengan IPK kecil, misal. Heuheu.

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: Hidup Kita