Gua itu berukuran sempit, udaranya pengap, tak banyak orang bisa masuk ke dalam. Dan untuk apa pula masuk ke dalam. Tapi nyatanya, ribuan orang selalu datang setiap harinya –tentunya sebelum masa pandemi–. Orang paling baik di antara mereka adalah yang berdoa dan bersyukur. Wajar saja, tidak asing, gua itu adalah gua Hira. Tempat wahyu pertama turun. Satu kata mencengangkan yang tersirat dari gua itu. IQRA’! BACALAH!

Sejarah spiritual itu menjadi legendaris. Jutaan umat muslim di dunia harus mengetahuinya. Sejarah itu diajarkan di sekolah-sekolah dasar. Di mana surat pertama turun? Gua Hira. Apa ayat pertama yang turun di Al-Qur’an? Iqra’. Semua umat muslim tau, beberapa dari mereka kembali mengajarkan hal tersebut. Ada yang otaknya lambat, akhirnya mereka harus menghafalnya mati-matian hanya untuk satu kata: Iqra’.

Iqra’: Sekedar Informasi?

Ribuan tahun setelah ayat itu turun, perpustakaan-perpustakaan sudah banyak berdiri. Tapi sampai hari ini, bangunan itu kadang dibiarkan kosong. Meski sudah didesain seindah mungkin. Masih banyak juga yang tidak terawat. Debu-debu dibiarkan bahkan lampu kadang-kadang dipadamkan. Seperti tempat peristirahatan terakhir bagi ide-ide, pengalaman, serta perasaan seorang penulis.

Kenapa membaca itu berat? Bukannya kita sudah belajar tentang ayat pertama yang turun? Tentang Iqra’, tentang membaca. Mungkin kita bukan belajar, kita hanya diberi informasi untuk mendapatkan angka atau menghindari ancaman.

Pada akhirnya, Iqra’ hanyalah informasi, sama seperti siapa namamu, berapa umurmu, di mana sekolahmu dan sejenis itu. Iqra’ sebenarnya bisa lebih dari itu. Iqra’ bisa menjadi sebuah internalisasi diri. Menjadi intuisi. Seperti menngendarai sepeda, bagaimana bisa kita tidak jatuh padahal rodanya hanya dua. Seperti mengendarai mobil, tidak perlu matematika untuk mengukur jarak badan mobil agar tidak menabrak pembatas jalan. Perlu latihan, kemauan, dan yang paling efektif, kebutuhan.

Landasan Mencari Informasi

Terlepas dari apa arti membaca sebenarnya; membaca buku atau membaca suasana masyarakat, yang pasti keduanya adalah cara untuk mendapatkan informasi. Metode untuk berfikir di luar kemampuan indra kita, membiarkan diri kita merasakan pengalaman orang lain, jalan pintas untuk mengupgrade diri sendiri.

Perlu kiranya, membiasakan diri untuk refleksi, beradaptasi dari berbagai sudut pandang agar kita tidak menganggap dunia sebatas pada apa yang ada di depan mata kita. Jika memahami Iqra’ hanya sebatas informasi historis, maka ia akan tetap menjadi informasi. Jika memahaminya dengan internalisasi diri, menganggap Iqra’ adalah awal untuk pembentukan diri yang penuh nilai, maka Iqra’ akan menjadi landasan kita untuk mencari informasi. Ide fundamental dalam kehidupan untuk terus berkembang.

Penulis: Haekal Adha Al Giffari

Penyunting: Aunillah Ahmad