Sejak bulan maret kemarin, rektor saya melalui SK-nya (yang saya nggak hapal nomor berapa) memutuskan bahwa pembelajaran dilakukan secara daring sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan. Karena waktu itu masih fase awal daring, dosen-dosen saya menentukan untuk melaksanakan KBM melalui WA Group atau Google Classroom. Meskipun sangat membosankan, menurut saya waktu itu tidak ada kendala yang serius. Hal tersebut terus berlanjut hingga tahun akademik 2019/2020 berakhir.

Selepas melewati masa liburan, datanglah tahun akademik baru 2020/2021. Pembelajaran di semester ganjil tahun akademik ini masih sama seperti sebelumnya, daring. Hanya saja, di semester ini melalui virtual conference. Sepakat atau tidak, faktanya pembelajaran daring via virtual conference menuai banyak problematika. 

Pertama, masalah jaringan 

Tak semua wilayah di Indonesia memiliki koneksi internet yang baik. Di beberapa wilayah, orang-orang harus bersusah payah memanjat pohon atau pergi ke tanah lapang―dan hal-hal susah lainnya―hanya demi mendapat jaringan.

Hal tersebut tentu menjadi dilema bagi mahasiswa yang tinggal di pelosok. Saat mahasiswa yang lain cukup duduk di kamar untuk mengikuti perkuliahan, mereka yang tinggal di pelosok harus bersusah payah setiap hari demi bisa mengikuti perkuliahan. Sayangnya, tak semua dosen bisa memberi pengertian terhadap problematika termaktub. Mereka seolah tak mau tahu. Kalau di jadwal tercantum kuliah di mulai jam 09.20 WIB, ya semua mahasiswa wajib sudah bergabung saat jam 09.20 WIB. Toleransi keterlambatan biasanya sekitar 10-15 menit, lebih dari itu tak akan dihitung hadir.

Mirisnya, hal tersebut diberlakukan kepada semua mahasiswa tanpa terkecuali. Mereka yang tinggal di pelosok hanya bisa melapangkan nurani. Sebab, jerih payah mereka kadang hanya berbuah alfa berkali-kali. Kalaupun meminta keringanan kepada dosen (tersebut) akan percuma. Karena, dosen (tersebut) menganggap bahwa itu masalah mereka yang tinggal di pelosok, nggak mau tahu. Sebagai pengajar―yang tentunya telah melewati proses pendidikan yang tak sebentar dan pasti telah mendapat banyak pengetahuan―seyogianya dosen bisa memaklumi problematika tadi. Juga semestinya bisa mengambil sikap yang ‘gak karepe dewe’, otoriter.

Kedua, masalah kuota

Kita semua tentu tahu bahwa kemendikbud memberi subsidi kuota. Namun, saat itu pihak kampus saya tidak memberi instruksi kepada para mahasiswanya supaya mengikuti prosedur dari kemendikbud agar bisa mendapat subsidi kuota. “Mungkin” inilah penyebab kami tak mendapat bantuan kuota, tapi “mungkin” ada penyebab lain juga, saya sendiri kurang tahu. Terlepas dari hal tersebut, pihak kampus sebenarnya sudah berjanji memberi bantuan kuota. Namun, realitanya masih beberapa mahasiswa saja yang sudah dapat, belum keseluruhan.

Dosen yang Kurang Bijaksana

Yang paling kami keluhkan sebenarnya bukan hal termaktub di atas, melainkan lebih mengarah kepada sikap dosen yang intoleran. Ya, intoleran. Begini, karena ketidakmerataan tadi, beberapa mahasiswa―khususnya yang tidak punya akses wi fi―masih harus membeli paket data sendiri, tentunya dengan jumlah yang tak sedikit. Dan di tengah sulitnya ekonomi seperti sekarang, harga kuota tadi tak bisa disebut murah.

Virtual conference nyatanya memakan kuota yang cukup banyak, dan kadang beberapa orang lupa atau tak sempat untuk mengecek sisa kuotanya. Bila kuota habis di tengah perkuliahan, mereka terpaksa auto left dari perkuliahan.

Sayangnya, ada dosen yang tak menerima fakta tersebut. Dosen (tadi) mengatakan bahwa ‘alasan’ kuota habis itu lagu lama.

“Lah, memangnya uang kami cuma buat beli kuota? Apalagi di kala pandemi seperti ini, bisa makan 3 kali sehari itu sudah sangat bersyukur”.

Hadeeh, hadeh. Mbok jadi dosen itu yang bijaksana tho….