Kalau kita bertanya kepada setiap penulis yang kita kenal mengenai tips dan trik menulis, jawaban pertama yang keluar adalah harus rajin membaca. “Kalau mau jadi penulis, ya harus rajin membaca, harus mau membaca.” Hampir semua penulis, saya pastikan, selalu mengeluarkan kalimat ini pertama kali ketika ditanya seperti itu.

Dalam dunia kepenulisan, membaca jadi kunci penting. Membaca berpengaruh pada dapur kosakata dan gaya penulisan kita. Semakin kita banyak dan rajin membaca, maka dapur kosakata dan gaya penulisan kita juga akan meningkat. Begitu pun sebaliknya.

Penulis tapi malas membaca. Ada?

Tapi, apakah ada penulis –atau orang yang pingin jadi penulis– tetapi malas membaca? Saya yakin ada. Kemungkinannya dua: pertama, tulisannya biasa-biasa saja atau cenderung jelek. Kedua, kalau dia ingin jadi penulis, dia tidak bisa atau susah untuk jadi penulis. Maka dari itu, membaca jadi faktor utama untuk siapapun yang akan atau sudah jadi penulis. Selanjutnya, diimbangi dengan riset, pendalaman tema, dan seterusnya.

Saya sering menjumpai beberapa teman yang bertanya perihal tulis menulis. Mereka menanyakan bagaimana caranya supaya lancar menulis. Mereka mengeluh karena seringkali mengalami kebuntuan ketika menulis. Saya tidak bisa memberi banyak saran selain menyuruh mereka untuk sering-sering membaca. Tidak jarang, mereka menimpali dengan kalimat, “tapi aku agak malas membaca,” yang segera saya balas dengan menyuruhnya untuk melupakan mimpinya jadi penulis.

Saya juga pernah berada di fase tersebut, ketika beberapa tahun lalu saya memutuskan untuk bermimpi jadi penulis. Berkali-kali saya coba menulis, apapun itu, sealu berhenti di paragraf kedua. Saya tidak tahu lagi mau menuliskan apa. Hal ini mulai berubah ketika selang beberapa saat, saya mulai membiasakan diri untuk membaca. Kebingungan saya terhadap apa yang saya tulis menurun drastis.

Membaca apapun!

Perihal membaca ini juga tidak melulu soal isu-isu atau tema tertentu yang akan kita tulis. Ia mencakup kemauan kita membaca hal-hal kecil namun vital, misalnya ketentuan tulisan. Setiap media, apapun bentuknya, pasti punya standar tulisan yang berbeda-beda. Hal-hal yang sifatnya teknis dan non-teknis menjadi penting untuk dicermati. Seperti: minimal jumlah kata, ukuran spasi dan ukuran kertas, hingga batasan-batasan tema yang bisa diangkat dan dimuat. Hal-hal seperti ini seringkali diabaikan oleh para penulis, terutama penulis lepas atau penulis luar. Padahal, syarat dan ketentuan seperti ini sudah dicantumkan di laman media masing-masing, dan para penulis sudah bisa membaca dan memahaminya.

Saya pernah mengalami hal itu saat mencoba mengirim tulisan ke sebuah media opini, yang salah satu ketentuannya adalah minimal tulisan 800-1000 kata. Tulisan yang saya kirim, kurang dari 800 kata. Apa yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak. Tulisan saya tidak dimuat. Sesederhana itu sebenarnya.

***

Selain membaca dan mempelajari isu-isu atau tema yang akan kita tulis, membaca dan memahami syarat dan ketentuan tulisan juga jadi hal yang penting dan wajib dipahami. Maka, tidak perlu heran kalau kita merasa tulisan yang kita kirim ke sana-sini susah untuk dimuat. Bisa jadi, karena tulisan kita belum mematuhi ketentuan.

Penulis: Iqbal Abdul Rahman Rifky

Penyunting: Aunillah Ahmad