Sebetulnya semua aman dan damai. Tapi karena ada sebuah isu, akhirnya publik diramaikan oleh obrolan kritis para politisi, akademisi, dan pengamat politik yang membeberkan ‘kesalahan-kesalahan’ lainnya berdasarkan sudut pandang mereka. Isu mengenai kesalahan birokrasi yang dilakukan oleh salah seorang staff khusus (stafsus) presiden telah menjadi kunci bagi para ‘komentator’ untuk mengorek-ngorek latar belakang adanya staff khusus presiden.

 

Jendela 1: Di Balik Pengangkatan Staff Khusus Presiden

Dipilihnya stafsus presiden sebagai pembantu presiden merupakan sebuah inovasi baru di dalam struktur pemerintahan. Para politisi mengangap bahwa kehadiran staff khusus di samping presiden adalah sebuah ‘penawar’ atas kekecewaan masyarakat terhadap sistem perekrutan kabinet Menteri yang notabene berasal dari ‘arisan politik’. Dipilihlah para Menteri yang mayoritas adalah pada professional yang sudah ‘berumur’. Hanya 1 menteri dari kalangan milenial, yaitu Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang berusia 35 tahun.

 

Jendela 2: Fungsi Staff Khusus Presiden

Problematika selanjutnya ada di bagian fungsi dan kewenangan stafsus presiden yang hanya berfungsi sebagai pemberi saran dan rekomendasi kepada presiden yang bisa saja didengar atau tidak. Bagi Jokowi, kehadiran staff khusus akan memberikan informasi dan aspirasi kalangan milenial dari berbagai pelosok daerah, serta memberi gagasan inovatif untuk mengejar ketertinggalan negara.

Namun, alih-alih berkontribusi untuk negeri, kalangan milenial dinilai tidak memiliki peran utama dalam menangani masalah serius negara. Misalnya di tengah pandemi covid-19 ini. Kenyataannya, staff khusus presiden tidak memunculkan kegemilangan dan kehebatan dirinya di hadapan masyarakat, media pun tidak pernah diramaikan dengan peranan yang telah mereka lakukan.

 

Mosaik 3: Staff Khusus Angkat Tangan

Mundurnya Adamas Belva Syah Devara dari jajaran Staff Khusus Presiden menjadi isu yang menyalip di tengah kesibukan pemerintah dalam menanagi pandemi covid-19. Dikabarkan di berbagai media bahwa dua orang staff khusus presiden, yaitu Adamas Belva Syah Devara dan Andi Taufani Garuda telah melakukan pelanggaran atas hak dan wewenangnya sebagai staff khusus presiden. Posisinya sebagai staff khusus presiden mereka manfaatkan untuk mendapatkan sumber daya ekonomi dan perusahaan mereka yang bersumber dari negara.

Adamas Belva mengakui dalam twitternya bahwa proyek yang didapatkan oleh perusahannya melalui Skill Academy by Ruangguru untuk proyek kartu prakerja didapat sebelum ia menjabat staff khusus presiden. Penjelasannya di akun twitter @AdamasBelva ini mengesampingkan posisi dirinya sebagai bagian dari sistem negara untuk meraup keuntungan melalui perusahaannya yang sebetulnya bersumber dari negara juga. Akhirnya untuk memutus fokus negara dari pandemi covid-19 yang menyebabkan persoalan berkepanjangan, Adamas Belva memundurkan diri.

Kemudian, staff yang lainnya, Andy Taufani telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai staff khusus presiden dan telah menggunakan kop resmi sekretariat negara demi kepentingan perusahannya. Ia membuat surat resmi untuk para camat di seluruh Indonesia guna mendukung edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri (APD) melawan wabah covid-19. Seruan ini ditujukan untuk mendukung perusahaannya sendiri, yaitu PT Amartha Mikro Fintek yang mendapat dukungan dana dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Memang betul, itu semua ditujukan untuk kebaikan masyarakat. Namun tindakan ini tidak hanya melampaui wewenangnya yang sekadar sebagai penasehat presiden, melainkan juga melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan kop resmi Sekretariat Kabinet RI yang diperuntukkan bagi perusahaannya sendiri.

 

Sebuah Refleksi

Sebetulnya tidak ada yang salah atas pengangkatan staff khusus presiden. Semua staff adalah orang-orang hebat, kaum milenial terdidik dan berprestasi, kebanggaan bangsa. Tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat Pendidikan mereka sangat berkualitas dan berkelas. Namun kecerdasan birokrasi serta ketelitian soal tanggung jawab dan amanah menjadi sangat penting, melebihi pentingnya intelektualitas.

Isu ini menjadi ajang refleksi bagi kaum milenial untuk koreksi diri bahwa setinggi apapun intelektualitas kita akan roboh dengan yang namanya kecerobohan akhlaq. Jadilah kaum milenial yang berakhlaq dan senantiasa merunduk. Jangan lantas menengadahkan kepala dan lupa diri.

 

Penulis: Firdan Fadlan Sidik