Tiap menjelajahi dunia maya, saya selalu terkaget-kaget melihat postingan yang mendulang banyak ‘like’. Mulai dari postingan foto, video, ataupun sekadar cuitan yang berisi kata bijak, nasihat, banyolan, hingga sindiran. Saya masih bisa paham jika postingan yang diunggah adalah konten yang memang bagus seperti keindahan alam, atau sesuatu yang sangat lucu. Tapi tak jarang ribuan like tersebut ada pada konten yang biasa-biasa saja dan bahkan terlihat aneh untuk diberikan like.

Seperti beberapa waktu lalu, pemilik akun @Anyaselalubenar sempat mengunggah postingan “wkwkwkwkkwwk” di akun twitternya. Apa maksud cuitan tersebut? Saya tak tahu. Di mana menariknya postingan itu? Saya juga tidak mengerti. Lebih membingungkannya lagi adalah hingga tulisan ini dibuat, cuitan tadi sudah mendapat enam ribu like lebih. Shock!

Sementara itu didorong oleh kegabutan, saya juga kerap memerhatikan postingan teman saya sendiri. Dari konten yang lucu, menarik, sampai bermuatan edukatif pun saya tidak pernah mendapati ribuan atau ratusan like di postingan mereka. Berbeda dengan konten yang saya ceritakan di atas. Bisa jadi hal ini lantaran teman saya bukan seorang influencer, selebgram, selebtwit, atau public figure, ya.

Tapi terlepas dari embel-embel identitas pemilik akun, saya jadi berpikir bahwa sebenarnya ada beberapa alasan netizen memberikan like. Saya kira hal ini patut kita renungkan karena banyaknya like sosmed seakan menjadi validasi sosial atas individu. Entah dirinya secara fisik, karya, atau opininya. Sebut saja dengan fenomena perlombaan yang penenangnya cukup ditentukan dengan jumlah like.

Alasan nge-like pertama: kepencet

Jangan selalu berpikir bahwa orang yang like postingan kamu selalu dalam keadaan sadar sesadar-sadarnya. Tanpa kamu ketahui, di saat kedua sudut bibirmu ketarik ke samping dan senyummu merekah melihat jumlah like bejibun di unggahan foto yang (menurutmu) epic, jauh di pinggir sana, berjarak puluhan, ratusan, bahkan ribuan kilo meter ada orang yang secara tidak sadar memencet icon berbentuk hati itu.

Tindakan un-like bisa saja dilakukan, tapi nasi sudah menjadi bubur. Notifnya memberikan like pada postinganmu kadung masuk. Apalah daya terlanjur kepalang. Satu yang pasti, betapa menyesalnya dia sudah bertindak ceroboh.

Alasan nge-like kedua: terpaksa

Saya selalu yakin salah satu alasan yang membikin pertemanan awet adalah suburnya asas kemanfaatan. Mengakarnya asas ini terlalu jauh ke dalam hubungan dua orang bahkan lebih, membuat kita merasa tidak enak, sungkan, juga manut-manut saja saat melakukan sesuatu. Entah dengan motif apa, seorang teman terkadang memohon (yang lebih mirip desakan) agar kita mengikuti maunya. Like postingan, misalnya. Nah, demi pertemanan yang sudah terjalin, tak apalah sedikit terpaksa nge-like postingan orang. Gitu, lho.

Alasan nge-like ketiga: ulah teman

Agak mirip dengan alasan kedua, tapi alasan yang ini justru lebih menyebalkan. Jika dengan alasan terpaksa tadi, kita masih memberikan like atas dasar persetujuan diri sendiri meskipun sedikit tidak rela. Namun pada alasan ini, kita benar-benar tidak tau apa yang terjadi.

Dengan berdalih meminjam gadget, seorang teman bisa melewati batasnya. Membuka media sosial kita seenak jidat dan melakukan aktivitas posting, stalking, bahkan membubuhkan like sesuka mereka. Serupa kegiatan pembajakan. Fatalnya, hal seperti ini justru baru ketahuan beberapa waktu setelahnya yang mana kegiatan tadi sudah terlanjur diketahui banyak pihak. Seperti ada yang kadung senyam-senyum ngelihat postingannya di-like, gitu.

Alasan nge-like keempat: kontra

Dari sekian alasan, menurut saya alasan ini sih yang paling menggelikan. Tanda love, icon yang dibaca like dan yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti ‘suka’ atau ‘serupa’, membuat kita selalu merujuk pada artinya secara harfiah saat mendapati like. Secara sederhana, logika kita berpikir bahwa like berarti suka dan itu artinya mereka sepakat atas apa yang dilakukan. Like menjadi semacam tombol persetujuan dan dukungan.

Faktanya, pemilik akun akan membubuhkan tanda like pada postingan yang menarik. Tapi yang perlu digaris bawahi adalah bahwa menarik tidak selalu ‘benar’. Bisa jadi postinganmu banyak like karena unpopular opinion atau mengandung pemikiran yang super menggelikan sehingga mereka ingin lebih banyak orang yang tau isi kepalamu. Like bisa bekerja seperti sarkasme juga, lho. Wkwkwk.

Sampai di sini sudah bisa dimengerti bukan kenapa tak perlu mengandalkan like untuk mendapatkan validasi sosial?

Editor : Hiz