Film Joker sedang ngetren belakangan ini. Sampai tulisan ini dibuat, bahkan Joker masih cukup mendominasi layar bioskop Indonesia. Padahal terhitung dua pekan lebih sejak tayang perdana di Indonesia, 2 Oktober 2019 lalu.

Sinema yang menceritakan masa lalu musuh bebuyutan Batman ini memang bukan film sembarangan. Sukses memberikan shock therapy buat penonton. Film dengan Joaquin Phoenix ini memang punya efek yang nggak sembarangan, begitu kuat dan mendapat sambutan luar biasa dari penonton di seluruh dunia.

Karena plot yang begitu ngena, banyak yang terharu sampai menangis waktu menonton. Ada yang paranoid ketika mendengar tawa khas Joker. Bahkan, ada juga yang sampai lemas dan gemetar tubuhnya usai menonton karena efek psikologis yang dahsyat. Imbasnya, orang-orang dengan mood yang sedang nggak baik atau sedang mengalami tekanan mental sangat nggak disarankan menonton film ini.

Memang, film Joker sesukses itu menghipnotis penonton. Begitu berkesan sampai banyak yang menyebut “Joker adalah kita” karena “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”. Banyak yang setuju, tapi banyak juga yang nggak sepakat. Lalu muncullah pro-kontra di media sosial tentang apakah Joker adalah kita, atau bukan?

Aku sendiri sih menyikapinya dengan sederhana, menentukan apakah Joker dengan kita berdasarkan pertanyaan berikut:

Apakah kamu pernah dibully?
Apakah kamu hidup di kawasan kumuh perkotaan?
Apakah kamu pernah diganggu kelompok remaja sampai mengalami kekerasan fisik?
Apakah kamu hidup di tempat dengan gangguan keamanan yang parah?
Apakah kamu sering ditipu teman-temanmu?
Apakah kamu punya asal-usul yang nggak jelas?
Apakah kamu menderita kekerasan fisik yang berlebihan di masa kecil?
Apakah kamu punya penyakit mental—terkhusus pseudobulbar affect?
Apakah kamu pernah membunuh ibumu tanpa diniatkan lalu nggak merasa bersalah?

Kalau satu saja pertanyaan di atas jawabannya adalah “enggak”, maka jangan samakan dirimu dengan Joker. Joker bukanlah kita.

Tetapi, tentunya bahasan tentang kepribadian Joker dan kehidupan kita nggak berhenti sampai di situ aja. Beberapa bagian memang perlu banget menjadi perhatian bagi kita.

Perkara mencontoh Joker gara-gara ujaran “orang jahat adalah orang baik yang disakiti” tentu nggak bisa kita contoh begitu saja. Kalau kita dalam keadaan sehat secara mental pastinya kita bisa paham mana yang baik dan mana yang buruk. Kita selalu bisa mengusahakan kebaikan walaupun di waktu yang sama merasa banyak disakiti.

Bukannya menyepelekan, tapi dengan dorongan teman, keluarga, dan kepercayaan yang kita pegang pastinya kita bisa terus menjadi orang baik. Nggak harus menunggu disikapi dengan baik baru kita jadi orang baik. Kalau begitu, kebaikan kita justru diragukan.

Sebaliknya, kalau ada orang yang berbuat buruk, memang bisa jadi disebabkan perlakuan buruk yang biasa dia terima. Hal ini yang harus menjadi perhatian. Bahwa kepedulian perlu kita tumbuhkan, siapapun kita harus punya prinsip “sebisa mungkin nggak berlaku buruk terhadap orang lain”.

Satu lagi, kalau memang ada teman kita yang mengalami gangguan kesehatan mental, jangan dijauhi. Usahakan untuk selalu menemani. Juga mendorong penanganan yang tepat lewat psikolog. Agar keadaannya membaik dan nggak hanya mendapat penilaian berdasarkan stigma.

Karena, kalau kata Joker, bagian terburuk dari menderita gangguan mental adalah “orang-orang berharap kamu nggak mengalami gangguan mental”. Sedih banget kan? Jadi, bagi kamu yang nggak memiliki gangguan mental, pastikan curhat dari Joker itu jadi perhatian kita, ya.

Joker bukanlah kita, karena itu jangan sampai kita dan orang-orang di sekitar kita bertindak seperti dirinya. Biarlah Joker tetap berada di kota khayalan Gotham City, menjadi musuh abadi Batman.

Penulis: Nabhan Mudrik Alyaum

Ilustrator: Ni’mal Maula