Beberapa waktu lalu, video Mbak Najwa Shihab yang tengah mewawancarai seorang sopir mobil jenazah korban COVID-19 berseliweran di beranda sosial media saya. Sebagai pengikut setia Mbak Nana, saya refleks mengeklik video tersebut. Dalam video itu, Pak Sopir menceritakan bahwa setiap hari ia bisa membawa puluhan jenazah yang harus dimakamkan. Dengan berurai air mata, ia menjelaskan betapa marahnya ia karena masyarakat masih saja berkeliaran di jalanan Jakarta, bahkan membuat macet. Saya pun ikut meneteskan air mata, entah mengapa video ini terasa lebih mengharu-biru dibanding drama korea yang biasa saya tonton.

Aturan social distancing dari pemerintah pusat serta PSBB dari pemerintah daerah tak ubahnya seperti nasehat seorang ibu kepada anaknya agar tidak jajan es sembarangan. Kita tahu, nasehat tersebut ngga pernah mempan bahkan cenderung dilanggar oleh anaknya. “Ngga apa-apalah, belinya kan diem-diem. Ibu ngga bakal tahu!” Begitulah kata si anak sambil tertawa cekikikan bersama teman-temannya selepas jajan es dari warung. Besoknya, gerombolan anak ini kena sakit panas berjama’ah dan barulah menangis tersedu-sedu.

Mencermati tingkat ke’ngeyelan’ masyarakat Indonesia yang sudah membuat kepala pening, jiwa emak-emak saya pun terpanggil.

Saya jadi berandai-andai, bagaimana kalau Indonesia ini adalah seorang anak, dan saya emaknya. Saya tentu punya sedikit otoritas untuk mendidik anak saya ini agar dapat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Berikut adalah fantasi yang saya bayangkan.

 

Pertama,

seperti emak-emak pada umumnya yang lekat dengan imej galak. Saya tidak hanya memanfaatkan kegalakan saya ini untuk berebut barang diskon di toko atau menawar harga sayur, tetapi juga memanfaatkan kegalakan saya di depan anak, bahkan meningkatkan tingkat kegalakannya. Saya tidak akan sungkan-sungkan untuk menjadi cerewet agar anak saya tetap diam di rumah.

Kamu nurut sama Emak atau kamu cari Emak yang lain?!” barangkali itulah kata-kata pamungkas saya ketika anak mulai ngeyel dan cari-cari alasan untuk keluar rumah. Saya yakin, anak saya akan tetap memilih saya, karena siapa pula emak-emak yang mau menerima anak yang ngeyel? Yakin deh, walaupun galak tapi saya adalah emak yang super sabar.

 

Kedua,

selayaknya seorang emak-emak yang menyayangi anaknya, saya akan membuatnya betah berada di rumah. Kalau perlu, saya akan masak enak setiap hari agar dia tidak jajan ke luar. Saya akan mencukupi kebutuhan pangan dan menyediakan ruang aktualisasi agar ia bisa tetap bermain. Saya membayangkan, mungkin saya akan mulai belajar bermain gobak sodor atau gundu dengan konsep indoor. Atau yang lebih modern, saya akan mulai belajar bermain tiktok seperti Nia Ramadhani.

Ih Mak gimana sih, harusnya Emak tuh posenya begini.” Bahkan rasanya saya rela-rela saja ketika si anak yang balik memarahi saya karena tidak becus menari atau bergaya di depan kamera.

 

Ketiga,

saya akan membangun koneksi dengannya melalui perhatian, curhat, atau humor-humor receh yang nggak banget. Saya ingin menjadi lebih dekat dengan anak saya dengan melakukan hal yang sebelumnya jarang dilakukan. Saya pikir, inilah saatnya untuk membangun intimasi dengan anak yang nggak nurut-nurut amat tapi sungguh saya sayangi ini.

Adek, Emak punya tebak-tebakan. Kepiting kalau jadi dua namanya apa hayoo?” Saya akan melemparkan pertanyaan maut kepada anak saya dan berlagak seperti Tantowi Yahya dalam reality show “Who Wants to Be Millionaire?”.

Anak saya mengernyitkan dahi penasaran lalu menggeleng.

Kepiting kalau jadi dua namanya kepotong, hahaha….! Lucu nggak, Dek? Lucu nggak? Lucu, kan?”

Mmmm, hehehe… Emak lebih lucu deh daripada pertanyaannya…” Anak saya mungkin akan tersenyum prihatin melihat emaknya yang berusaha melucu tapi terlihat menyedihkan.

 

Lalu bagaimana tingkat keefektifan cara-cara tersebut sehingga anak saya dapat tetap anteng di dalam rumah? Yaaa namanya saja bayang-bayang, tentu itu hanya ada di alam ide saja.

Namun yang menarik, cara “emak-emak” tersebut terinspirasi oleh teori Bahasa Motivasi yang dibuat oleh Mayfield. Ia mengatakan setidaknya ada 3 motivasi agar tujuan dari komunikasi massa ini tercapai, yaitu melalui: pengarahan, pembangunan makna, dan empati. Tanpa bermaksud menonjolkan peran gender tertentu, kita dapat melihat bahwa ketiga hal ini kerap dilakukan oleh emak kita.

Saya rasa, kalau pemerintah bisa sedikit saja menyentuh hati masyarakat Indonesia secara lebih personal dengan memperlakukan masyarakat seperti anak yang harus disayangi, rasanya masyarakat Indonesia tidak akan ngeyel-ngeyel amat.

Kalau masih ngeyel gimana? Jewer aja kupingnya.

 

Penulis: Laila Hanifah