Apakah keadilan sosial masih berlaku untuk para kapitalis?

Bukankah jelas-jelas sila kelima Pancasila berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”?

Pertanyaan ini berkaca dari realitas yang ada di Indonesia sekarang, melihat bagaimana hukum seringkali runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Dengan kata lain, hukum hanya berlaku pada kaum yang termarjinalkan. Lalu, siapa saja yang dimaksud kaum termarjinalkan atau tertindas?

Perspektif tentang kaum tertindas memang sangat banyak, tetapi dalam hal ini kaum tertindas ialah mereka yang tidak memiliki hidup yang layak dan ketidakadilan sosial. Mengutip buku tauhid sosial yang dibuat oleh Amien Rais, “yang kuat itu memeras yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, yang pintar memintari yang bodoh. Sehingga, manusia yang satu terhadap manusia yang lain bertindak seperti serigala. Kemudian, manusia yang satu dengan manusia yang lain berada dalam peperangan untuk menaklukan yang lemah.”[1]

Padahal jelas-jelas Allah berfirman dalam Qs. An-Nisa : 75, “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Alloh dan membela orang yang lemah, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata, Tuhan kami, Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan-MU”.[2] Dengan kata lain, Alloh juga menegur manusia agar membela kaum yang lemah atau yang tertindas.

Jika menilik pada kenyataan saat ini, apakah para penguasa sudah membela kaum yang lemah? Justru malah sebaliknya, para penguasa sedikitpun tidak memperdulikan kesenjangan sosial yang terjadi di lingkungannya. Mereka hanya mementingkan kesejahteraan diri sendiri dan hanya memandang masyarakat dari tatanan kaum menengah ke atas bukan menengah ke bawah.

Contoh kecil dari tataran paling bawah yaitu pelajar. Belum semua anak-anak sampai remaja bisa menikmati pendidikan, sebagian kecil anak-anak di Indonesia terpaksa berkerja untuk menghidupi dirinya sendiri dan sebagian besar para remaja juga memilih menjadi gelandangan dan tidak melanjutkan sekolahnya.

Lalu, salahkah mereka memilih putus sekolah untuk melanjutkan hidup? Allah jelas mengkritik kaum marjinal yang tidak mau berusaha dan hanya meratapi nasibnya sebagaimana yang firman-Nya dalam Qs. Ar-Rad Ayat 11 yang artinya “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka”.[3]

Namun, dalam ayat lain, seperti yang sudah disebutkan tadi di paragraf dua tadi, Alloh juga memperingatkan kaum kapitalis yang tidak mau peduli dan membela kaum tertindas. Dalam hal ini, kaum tertindas tak bisa sepenuhnya disalahkan, karena ketika mereka sudah berusaha, kaum kapitalis yang berkuasa tidak memberikan kesempatan mereka untuk berkembang. Hal ini seringkali menjadi sumber penyebab kemiskinan dan kesenjangan sosial terjadi.

Contoh di atas merupakan realitas yang betul-betul terjadi di Indonesia. Artinya masih banyak kaum yang termajinalkan di era modernitas dan pemerintah sekalipun tidak peduli terhadap pendidikan yang belum diperoleh untuk kaum-kaum yang termarjinalkan. Maka dari itu, nilai-nilai dari agama Islam perlu diterapkan untuk membebaskan kaum yang termajinalisasi.

Agama Islam memandang teologi pembebasan seperti apa? Mengutip dari buku Islam & Teologi Pembebasan oleh Engineer. Penulis dilahirkan dalam lingkungan keluarga ulma ortodoks bahro pada tanggal 10 Maret 1939 di sulumber, rajastan India. Ia sering mengajak berdialog dengan penganut agama lain dan juga tekun mempelajari literatur-literatur keagamaan dari berbegai sumber yang ditulis dari kalangan Islam maupun barat. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa “Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota lainnya yang lemah dan tertindas tidak dapat disebut sebagai masyarakat Islam”.[4] Islam sendiri pada awal perkembangannya banyak dipeluk oleh orang-orang yang bukan merupakan golongan elit di Masyarakat. Demikian dari perspektif Islam, dengan kata singkat Islam sangat berpihak kepada kaum tertindas.

Prinsip-prinsip Keadilan Sosial

Lantas bisakah keadilan sosial merata? Menurut Rawles, seorang filsuf dari Amerika serikat yang terkenal pada abad ke-20 di dalam bidang filsafat politik, ia menuliskan dalam bukunya “A Theory of Justice”, bahwa prinsip-prinsip keadilan sosial harus ditanamkan untuk memperoleh keuntungan dan beban sosial secara merata.

Prinsip pertama, setiap orang berhak memperoleh kebebasan-kebebasan dasar yang setara, sebagaimana yang diperoleh orang lain. Kebebasan-kebebasan dalam hal ini mencangkup kebebasan berpolitik, kebebasan berbicara, kebebasan berfikir, kebebasan dari penindasan psikologis maupun pernyiksaan fisik.

Prinsip Kedua, ketidaksetaraan sosial & ekonomi yang terjadi di masyarakat harus dikelola sedemikian rupa untuk keuntungan semua. Di satu sisi, setiap orang mendapatkan akses yang sama terhadap jabatan dan kedudukan dalam masyarakat. Di sisi lain juga, strategi yang demikian ini harus ditempuh guna menghindari terjadinya ketidakadilan yang lebih besar.[5] Demikian strategi yang ditawarkan oleh Rawles untuk membangun keadilan sosial di tatanan masyarakat luas.

Setidaknya masih banyak jalan untuk membebaskan dan menyejahterakan masyarakat melalui pemerintah agar keadilan sosial bisa merata. Tidak runcing ke bawah dan tumpul ke atas yang menyebabkan ketidakadilan. Harusnya melalui pemerintah juga bisa membasmi kaum kapitalisme yang hanya mementingkan perut sendiri dan tidak mempedulikan ketimpangan sosial yang terjadi. Dan sila kelima yang berbunyi “Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” pun bisa terpenuhi dengan menandakan keadilan sosial itu merata.

[1] Amien Rais. Tauhid Sosial. Bandung.Mizan. 1998. Hlm 101

[2] Terjemahan Qs. An-Nisa Ayat 75

[3] Terjemahan Qs. Ar-Rad Ayat 11

[4] Asghar Ali Engineer. Islam & Teologi Pembebasan. Pustaka Pelajar. 1999

[5] John Rawles. A Theory of Justice. Hlm 47

Penulis: Dita Aprilian Nur Fatah (Alumni Magnum Opus IPM Jawa Tengah #1)

Ilustrator: Ni’mal Maula