Kasus kekerasan dan pelecehan seksual selalu menjadi pembahasan yang menarik dan tak pernah ada habisnya. Alih-alih hilang ditelan bumi, kasus tersebut semakin tercium bau busuknya. Sungguh mengerikan, catatan tahunan milik KOMNAS Perempuan menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 3.062 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik dan komunitas dengan rincian kasus pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus), pelecehan seksual (520 kasus), persetubuhan sebanyak 176 kasus dan percobaan perkosaan.

Pelecehan seksual bisa terjadi karena pelaku melihat adanya kesempatan dalam kesempitan. Pelaku pelecehan seksual juga tidak memandang siapa target sasarannya. Semua bisa menjadi korban. Mulai dari perempuan, lelaki, muda hingga tua. Ironisnya, masih banyak juga yang menganggap remeh dan menyepelekan kasus pelecehan seksual.

Bagai buah simalakama, korban menjadi dilema untuk melaporkan kasusnya karena banyak kasus dimana korban yang malah disalahkan. Tidak jarang perempuan dinilai salah dalam pakaiannya yang dianggap mengundang syahwat pelaku.  Faktanya, korban pelecehan seksual tidak berniat untuk mengundang nafsu predator seksual.  Tentu, minimnya kepedulian orang lain tentang betapa seriusnya masalah ini menjadi pukulan bagi korban.  Apatisnya penegak hukum dan lemahnya lembaga sosial dalam menopang kasus juga dapat memperparah stigma pelecehan seksual. Dima kasus pelecehan seksual adalah hal yang lumrah terjadi dan bisa diselesaikan lewat jalur kekeluargaan.

Tak sedikit kekerasan seksual yang terjadi di usia muda bahkan remaja. Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2019 (SPNHAR 2018) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkap bahwa satu dari 11 anak perempuan dan satu dari 17 anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual.

Kasus ini bisa terjadi dimana saja, baik itu lingkungan pendidikan seperti sekolah dan kampus hingga lingkungan keluarga. Tabunya pendidikan seksual sejak dini juga menjadi salah satu faktor lemahnya korban untuk melawan pelecehan seksual.  Lembaga pendidikan memilih bungkam terhadap pendidikan seksual sejak dini karena dinilai bertentangan dengan moralitas. Masih banyak orang tua yang juga memilih tidak memberikan pendidikan seksual sejak dini karena menganggap terlalu muda untuk membicarakan masalah seks. Padahal, seks tidak melulu berbicara tentang alat kelamin atau cara berhubungan intim. Pendidikan seksual lebih dari itu, dimana berguna untuk menanamkan pentingnya menjaga diri serta melawan pelecehan atau kekerasan seksual.

Dunia media sosial sudah lama menjadi primadona untuk mengungkapkan kasus kekerasan atau pelecehan seksual. Hanya dengan satu kali klik kasus tersebut sudah bisa menyebar ke seluruh Indonesia. Salah satunya adalah media sosial Twitter yang kerap membahas kasus pelecehan seksual serta pengungkapan pelaku.  Tidak disangka, cara ini dinilai cukup efektif untuk membuat sanksi sosial terhadap pelaku karena identitas dan bukti kejahatan yang tersebar di dunia maya sehingga pelaku mempunyai jejak digital yang buruk.

Kampanye digital seperti #mulaibicara dan #beranibicara yang pernah ramai di Twitter juga menjadi salah satu cara  melawan pelecehan seksual dengan mengajak para korban untuk berani mengungkap kasusnya. Hal itu diharapkan dapat menyelesaikan kasus serta membuat pelaku jera.

Adanya gerakan ini menunjukkan bahwa kita yang masih  muda dan produktif juga dapay mempunyai peran penting untuk melawan kekerasan seksual. Tidak harus mengalami kekerasannya, membantu melaporkan korban untuk berani bicara juga termasuk bentuk perlawananl. Lembaga sosial saat ini juga kian menjamur untuk ikut memberi perlindungan kepada korban. Semakin banyak korban yang berani bicara, diharapkan masyarakat tidak lagi memandang rendah sebuah kasus kekerasan seksual apapun bentuknya. Kita semua harus berani menyuarakan dan melaporkan apabila menjumpai tindakan pelecehan seksual dimanapun kita berada.

 

Penulis: Dinarjati Rahma Widyastrini

*) Artikel ini merupakan peserta Collaboration Project on Writing Challenge hasil kolaborasi Milenialis dengan Puan Melawan, Its Girl’s Time, dan Kuntum