Kenikmatan ngeteh di pagi hari tidak tertandingi.

Setiap kali pagi datang manyapa, Mamak (sebutan untuk ibu saya) saya selalu menyediakan teh panas di teko besar. Biasanya sehabis subuh selasai ibu memanaskan air yang kemudian dituang dalam teko berisi serbuk teh Medali. Ya, teh serbuk berwadahkan kertas kotak bergambar medali jadi teh favorit saya dan sekeluarga. Minum teh di pagi hari rupanya menjadi ritual yang tidak boleh dilupakan.

Tradisi ngeteh di pagi hari sudah berlangsung dari saya kecil. Dulu sih teh merek Nutu yang menjadi favorit sekeluarga. Tapi entah kenapa teh merek Nutu kini enggak terlalu enak rasanya dibandingkan dengan teh merek Medali. Teh Medali rasanya lebih wangi dan sedap dibandingkan teh Nutu. Ini bukan karena saya ingin promosi ya, saya juga bukan agen penjualan teh Medali, tapi ini memang bicara soal rasa yang tidak bisa dibohongi.

Tapi apapun merek tehnya bagi saya enggak masalah sih. Yang jadi masalah saya adalah ketika datang pagi tapi melewatkan minum teh. Sebab kenikmatan ngeteh di pagi hari itu rasanya… Nikmat sekali. Bagi saya momen di mana minum teh di pagi hari adalah anugerah yang luar biasa dari Tuhan untuk kita semua. Aroma teh panas yang masuk secara sopan ke dalam hidung merupakan relaksasi tersendiri bagi saya. Seakan memberi semangat untuk menjalani aktifitas sehari-hari.

Sejarah Ngeteh

Mungkin saya harus berterima kasih banyak kepada salah satu Kaisar China yang dengan tidak sengaja memulai tradisi meminum teh. Ceritanya Kaisar Shen Nung yang memberi perintah kepada pembantunya merebus air untuk membuat minuman. Tanpa disadari oleh si pembantu ada daun yang jatuh ke dalam kuali untuk merebus air.

Jadilah air rebusan itu tercampur dengan daun yang jatuh tadi. Alhasil, terciptalah air rebusan yang memiliki aroma khas yang aneh—karena belum pernah sang Kaisar mencium baunya.

Syahdan, Kaisar Shen Nung menyebutnya sebagai “Keharuman dari Surga” yang belakangan diketahui berasal dari daun teh. Seandainya kejadian yang terjadi pada 4009 tahun yang lalu itu tidak ada maka kemungkinan kecil saya dapat menikmati pagi dengan minum teh. Saya sangat bersyukur kejadian itu terjadi karena menjadi tradisi hingga sekarang ini.

Sampai tulisan ini dibuat, di samping laptop saya telah tersanding segelas teh hangat yang menyegarkan. Seperti yang sudah saya katakan di awal, Mamak selalu menyiapkan teh hangat setiap pagi.

Ngeteh dan Cara Sederhana untuk Bersyukur

Selama masa-masa sulit seperti ini mensyukuri hal kecil nyatanya dapat mengurangi tingkat stress. Menyeduh teh di pagi hari membawa kesadaran religius bahwa Tuhan masih kasih kita kesempatan untuk berpikir positif di keadaan gamang ini.

Persoalan apakah “positive thinking” itu berjangka panjang hingga sore dan menjelang tidur lagi—itu urusan lain.  Yang penting kita terus memlihara pikiran positif dengan mensyukuri apa yang ada. Sebab jika sudah hilang apa yang ada itu, kita justru akan merasa kehilangan.

Sedikit cerita saja dari teman dekat yang menceritakan ibundanya tepat sebelum pergi dan takkan kembali lagi. Sang Ibunda yang tengah sakit dan membayangkan kematiannya segera tiba mengatakan hal yang mengharukan kepada anak laki-laki pertamanya. “Mulai sesok wes gak ono seng gaweke wedang meneh isuk-isuk (mulai besok sudah tidak ada lagi yang bikinkan teh hangat pagi-pagi).

Malam harinya sang Ibunda menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Dibuktikan pemberitahuan kabar duka melalui WhatsApp teman saya. Ucapan sang Ibunda rupanya semacam pamitan karena akan segera meninggalkan dunia ini selamanya.

Saya yang bisa dikatakan sering berkunjung dan bertemu sang Ibunda punya kenangan tersendiri. Yaitu ketika pagi datang beliau selalu menyiapkan secangkir teh yang masih bergumul asap di atasnya. Sambil menunjuk ke arah meja beliau mengatakan,“Kae mas wedang o e ng kono (itu mas teh angetnya di sana).

Terus saya jawab, “Nggih Bu (iya Bu).”

Editor : Hiz

Foto : Pexels