Sebenarnya ada kepentingan apa sih di balik salat tarawih yang delapan dan dua puluh tiga rakaat? Apa hanya sebatas kepentingan ormas NU dan Muhammadiyah? Atau buat sekedar nurutin kepentingan pribadi biar bisa milih sedikit atau banyak? Kan katanya ibadah itu mudah, jangan dipersulit. Atau karena perbedaan ijtihad ulama yang mainstream terjadi terkait banyak persoalan fiqh?

 

Selama tarawih #dirumahaja kamu tim sebelas rakaat, dua puluh tiga rakaat,  atau berapa? Kira-kira apa alasan dan kepentinganmu buat menentukan jumlah rakaat tarawih yang kamu pilih selama ini?

Salat tarawih termasuk salat qiyamullail yang dilaksanakan selama bulan Ramadan sebagaimana syarah HR. Bukhori no. 37 dan HR. Muslim no. 759. Nah dalam HR. Muslim no. 749 dan HR. Bukhori no. 1137 (shalat malam itu dua rakaat salam, dua rakaat salam maka apabila engkau takut masuk waktu subuh, hendaklah melakukan witir satu rakaat) menunjukkan bahwa tidak ada bilangan rakaat khusus yang ditentukan oleh nabi. Akan tetapi, perlu adanya standar sebagaimana riwayat ‘Aisyah yang seringkali menjadi rujukan dan seakan-akan menunjukkan kalau nabi selalu melaksanakan solat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan ragam formasinya (4-4-3; 2-2-2-2-3; 2-2-2-2-2-1). Iya, itukan kalau di rumah ‘Aisyah, bagaimana saat nabi salat di rumah istri yang lainnya? Tentu, kita bisa pakai landasan yang lebih umum.

Buat yang melaksanakan salat tarawih 23 rakaat, biasanya merujuk pada riwayat yang menunjukkan kebiasaan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Misalnya, riwayat al-Baihaqi. Memangnya pada zaman Umar ada apa, kok jadi banyak banget rakaat salatnya?

Nah, jadi gini dalam HR. Bukhori no. 3569 dan HR. Muslim no. 738 ‘Aisyah menjelaskan bahwa nabi melaksanakan salat tarawih sebanyak 4 rakaat salam lalu 4 rakaat salam, tapi jangan tanyakan panjang dan bagusnya. Kemudian sahabat Ibnu Mas’ud pernah menjadi ma’mum nabi dengan jumlah rakaat 2-2-2-2-2-1. Setiap rakaatnya, ia mengira bahwa nabi hanya membaca 100 ayat tapi ternyata 1 juz bahkan 5 juz. Akan tetapi Ibnu Mas’ud dapat mengikuti dengan hikmat dan nikmat sampai tidak terasa bahwa salatnya lama.

Kemudian, pada zaman Umar, Umar melihat kualitas umat sepeninggal nabi yang semakin nggak betah dengan bacaan yang panjang pada setiap rakaatnya, maka ia berinisiasi untuk membagi dua jumlah bacaan yang sering dilakukan nabi merujuk HR. Muslim no. 749. Oleh karena itu, ia mendapati 10×2 menjadi 20 dan rakaat witir 1×2 menjadi 2 (genap) sedangkan bilangan rakaat witir ganjil, maka ia membagi menjadi 3. Dengan menggunakan strategi Umar, apabila nabi terbiasa membaca 100 ayat pada setiap rakaat maka cukup dengan membaca 50 ayat saja. So, penambahan jumlah rakaat tersebut untuk meringankan lamanya berdiri dengan tetap menjaga kualitas panjang dan bagusnya salat (khusyuk).

***

Mmm berarti kalau zaman sekarang kita cuma betah sama surat yang pendek-pendek, wajar-wajar aja ya, soalnya zaman Umar aja udah mulai loyo (ini cuma alibi xixi). Tapi jadi nggak wajar dong kalau yang 23 rakaat atau lebih bakal selesai lebih cepet daripada yang 8 rakaat?

Kata tarwih merupakan bentuk jamak dari tarwihah yang secara mainstream bahasa, tarwihah berarti jalsah (duduk) sehingga sering difahami sebagai salat dengan istirahat duduk. Akan tetapi jika kita tarik pada kata kerja rowwaha-yurowwihu-tarwihan dapat ditemui makna yang lebih dalam, yaitu suatu pekerjaan yang bersifat santai, tenang dan setiap gerakannya senantiasa terpaut (berdampak) pada ruh/ jiwa. So berapapun rakaat yang menjadi pilihan kita, semoga dapat menjaga kualitas salat sehingga sifat salat tarawih dapat kita raih bersama dengan banyak keutamaan-keutamaannya.

Jadi, kira-kira apa kepentingan di balik ragam pilihan jumlah rakaat salat tarawih?

 

Penulis: Fadhlinaa ‘Afifatul ‘Arifah

Ilustrator: Ni’mal Maula