Bagi saya, hal paling familier perihal keutamaan Puasa Hari Arafah adalah penghapusan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Kalau dipikir-pikir, enak sekali yaa. Lantas benarkah keutamaan tersebut dapat kita dapatkan dengan hanya berpuasa? Yuk cek dalilnya dulu.

Dari Abu Qataddah r.a, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang keutamaan puasa tanggal 9 Dzulhijjah bersamaan dengan Hari Arafah. Beliau bersabda

“Puasa Hari Arafah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan mencegah pelakunya dari berbuat dosa setahun yang akan datang.”(HR. Muslim no. 1162)

Terjemahan mainstream yang saya sebutkan di awal, memang dapat melenakan manusia. Apabila seseorang berpatokan pada penghapusan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang, bisa-bisa orang tersebut melakukan berbagai tindakan semaunya. Oleh karena itu, coba perhatikan ulang terjemahan hadis yang telah saya cantumkan di atas.

Konsekuensi dari terjemahan hadis di atas adalah orang yang berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah hendaklah memohon ampun dengan sungguh-sungguh atas dosa yang telah diperbuatnya dan menjaga dirinya dari perbuatan dosa pada waktu yang akan datang. Apabila ia tidak mampu mencegah dirinya dari perbuatan dosa setahun yang akan datang, maka bisa dikatakan puasanya gagal.

Keutamaan Puasa Hari Arafah

Lantas bagaimana tips untuk menunjang keberhasilan puasa tersebut dan mengapa Allah begitu mencintai amalan pada awal Dzulhijjah? Karena momen awal Dzulhijjah bersamaan dengan momentum haji dan tanggal 9 Dzulhijjah bersamaan dengan momentum wukuf di Arafah. Maka seseorang yang melakukan Puasa Hari Arafah hendaklah melaksanakan amalan-amalan yang dilaksanakan oleh orang yang sedang Wukuf di Arafah.

Wukuf Arafah

Salah satu perbedaan rukun haji dan umroh adalah adanya wukuf di Arafah. Spesialnya lagi, wukuf merupakan rukun haji yang tidak bisa digantikan dengan dam (denda). Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan Alhajju ‘Arafah “Haji adalah wukuf di Arafah”.

Wukuf berasal dari kata waqafa yang berarti berhenti. Berhenti untuk merenungi diri dan kembali melakukan ma’rifatullah dan ma’rifatul insan seraya berzikir dan memohon ampun kepada Allah. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan Puasa Hari Arafah hendaklah tidak sekedar puasa tetapi juga melakukan perenungan diri.

Teruntuk bapak/ ibu/ saudara/i yang seharusnya berkesempatan haji pada tahun ini, melakukan Puasa Hari Arafah dengan benar-benar berhenti dari segala hiruk pikuk duniawi dan benar-benar menikmati momentum perenungan diri, semoga dapat mengobati hati yang tertunda ke tanah suci. Meski apabila ditinjau lagi, sebenarnya wukuf tidak bisa dilakukan apabila tidak berada di Arafah sesuai dengan ketentuan rukun. Akan tetapi, apa salahnya melakukan wukuf di rumah dengan harapan semoga hati dapat kembali suci.

Puasa Arafah atau Puasa Hari Arafah?

Lafadz dalam hadis menunjukkan “shiyamu yaumi arafata”. Yaum menunjukkan dorf zaman. Maksudnya, menunjuk waktu bukan momentumnya. Apabila tidak ada lafaz yaum maka dapat diartikan Puasa Arafah yaitu ketika terjadi momentum arofah (wukuf) sehingga ketika momentumnya tidak ada, tidak dianjurkan berpuasa.

Akan tetapi, karena menunjukkan waktunya yaitu waktu wukuf di Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijjah, maka yang menjadi patokan adalah waktunya (9 Dzulhijjah) bukan momentumnya. Bahkan jika suatu negara memiliki zona waktu yang berbeda dari Saudi, mengikuti penanggalan dan waktu sesuai dengan zona masing-masing terlepas dari sudah atau belum terlaksananya wukuf adalah sah dan boleh-boleh saja.

Penjelasan di atas menjadi alasan logis ketika umat muslim tetap dianjurkan melaksanakan sunnah Puasa Hari Arafah meskipun tidak ada momentum wukuf seperti saat pandemi sekarang ini. Selain itu, Puasa Hari Arafah (9 Dzulhijjah) sudah menjadi kebiasaan Nabi Muhammad SAW (sunnah) sebelum syariat haji dilaksanakan. Wallahua’lam.

Penulis: Fadhlina ‘Afifatul ‘Arifah

Penyunting: Aunillah Ahmad