Baru-baru ini, isu di Indonesia lagi ramai banget. Berkali-kali isu kelas nasional bersliweran di media sosial. Semuanya menarik hati untuk berkomentar. Memancing jemari menyusun kata, menanggapi isu-isu tersebut. Sampai pada satu titik, kita merasa, bahwa kita terlalu pusing mikir negara.

Bagaimana enggak, isu-isu di medsos seakan nggak ada habisnya. Kalau kita runut nih, di pertengahan Agustus kita menjumpai isu rasisme Papua. Terus “sutradara Hollywood” Livi Zheng menambah bahasan di awal September. Disusul dengan isu RUU KPK yang bikin kita pesimis dengan ayahanda-ibunda segenap wakil rakyat.

Kemudian ada lagi kebakaran hutan di Kalimantan & Sumatra yang parah banget. Belum selesai urusan kebakaran hutan, dengan teganya muncul kampanye Sawit Baik yang langsung digerakkan oleh Kemenkominfo—benar-benar menyakiti hati korban kabut asap sih ini. Bahasan-bahasan ini benar-benar menguras pikiran kita. Mungkin sampai pusing dibuatnya.
Ruwetnya permasalahan di atas, memunculkan ragam tanggapan. Salah satunya bahwa kita yang muda-muda ini terlalu pusing mikir negara. Eh, memangnya terlalu pusing mikir negara itu salah ya?

Tanda Kepedulian

Ikut terseret dalam isu-isu nasional itu keniscayaan. Dalam dunia kita sekarang yang nggak terhalang jarak dan nggak bisa dipisahkan waktu, informasi bisa kita dapatkan dengan cepat. Apalagi kalau kita aktif bermedsos. Jangankan isu nasional, isu internasional pun dengan mudahnya tersebar.

Ketika ada driver ojol yang hilang sepeda motornya di Bekasi, kamu yang tinggal di Jogja bisa ikut peduli. Saat ada kecelakaan beruntun di Tol Cipularang dengan belasan mobil terlibat, beberapa menit setelah berita dipublish teman-teman di Medan ikutan tahu kabar itu. Bahkan, nggak lama usai aksi teror dilancarkan oleh Brenton Tarrant di salah satu kota kecil Selandia Baru, warganet seluruh dunia tahu dan ikut bereaksi.

Fenomena yang hanya bisa terjadi di era digital ini menjadi pertanda baik. Nggak sebatas membuat pusing kepala kita, tetapi juga menumbuhkan kepedulian di dalam diri kita. Betul, ketika terlalu banyak isu masuk ke timeline medsos kita, mungkin kita merasa pusing. Tetapi bersamaan dengan itu juga muncul rasa empati.
Dari empati inilah kita belajar, bahwa dunia kita nggak baik-baik saja. Banyak sekali permasalahan dari Atta Halilintar yang terkena skandal sampai politikus yang April kemarin bermusuhan, eh sekarang kok berkawan—tapi malah bermusuhan dengan yang 5 bulan lalu jadi kawan, hmm. Dan semua itu membutuhkan kita untuk ikut peduli, ikut memperbaiki keadaan.

Nggak Sebatas Pusing Mikir Negara

Ikut memperbaiki keadaan. Berasa jadi semacam Gundala yang berhasil menghalau musuh-musuhnya nggak tuh?
Memang, bukan memperbaiki secara langsung yang aku maksud. Kita masih terlalu muda, kekuasaan paling hanya di organisasi pelajar/mahasiswa, dan punya uang hanya sedikit—kalau banyak sih seringnya dari orang tua, hehe—nggak bisa banyak berkontribusi dalam tindakan-tindakan langsung. Tetapi, bukan berarti kita sama sekali nggak berguna. Bukan berarti kita sama sekali nggak bisa memperbaiki keadaan.

Untuk saat ini, saat kebakaran hutan kita memang nggak bisa menciptakan hujan buatan yang langsung memadamkan api dan meredakan asap. Kita juga nggak bisa membuat RUU KPK dicabut begitu saja. Tetapi kita bisa mulai memberi pendapat-pendapat dan aksi sederhana yang positif. Percayalah, pendapat dan aksi kecilmu itu bermanfaat.

Dengan berpendapat, kita memaksa diri kita belajar lebih jauh. Memahami apa yang sebenarnya terjadi. Misal, dari kasus politikus yang bertukar kawan menjadi lawan—dan sebaliknya—kita bisa memahami bahwa logika politik itu nggak ada yang 100% benar dan 100% salah. Semua dilakukan demi kepentingan masing-masing. Kemudian kita bisa belajar untuk santai-santai saja dalam menghadapi peristiwa politik. Seraya belajar untuk nggak seperti itu jika kita menjadi politisi di kemudian hari.

Bisa juga menjelaskan kasus RUU KPK—juga kontroversi pemilihan pimpinan KPK. Dari isu yang satu ini kita bisa belajar bahwa penyelenggaraan negara memang begitu rumit. Ragam komponen melebur jadi satu, kepentingan sana-sini bertemu menghasilkan keputusan yang berada di luar kehendak rakyat. Lalu kita memahami bahwa permasalahan bangsa memang serunyam ini. Nggak bakal membaik kalau kita nggak mau turun tangan dan mengubah.

Benar, kecil sekali dampak dari kasus-kasus itu yang bisa diperbaiki lewat pendapat dan aksi kecil kita. Tetapi, satu hal yang jelas, kita nggak sebatas pusing mikir negara. Kita bisa belajar banyak. Memahami lebih dalam. Hingga pada waktunya nanti kita benar-benar bisa melakukan perubahan.

Penulis: Nabhan Mudrik Alyaum

Ilustrator: Ni’mal Maula